Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Senin, 19 Juli 2021 | 19:49 WIB
Pintu masuk bukit Cogong [Tasmalinda/Suara.com]

SuaraSumsel.id - “Kata Cogong, berarti besar. Sama dengan peran besarnya bagi masyarakat,”.
 
 Kawasan penyangga Tamanan Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), menyentuh dua wilayah adminitrasi, yakni kota Lubuklinggau dan Musirawas, Sumatera Selatan.
 
Kawasan lanskap Cogong pun ditetapkan sebagai kawasan Hutan Lindung (HL) pada tahun 2001 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor  76/Menhut-II/2001 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Sumatera Selatan seluas 4.416.837 hektar (ha).
 
Tentu, setelah masyarakat berada di kawasan hutan tersebut.

Lanskap Bukit Cogong (Tasmalinda/suara.com]


 
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas, Kelompok Hutan Lindung Bukit Cogong atau HLBC, terdiri atas tiga bukit tersebut.
 
Bukit Cogong atau Bukit Besar memiliki luas 1.222 ha, Bukit Gatan seluas 567 ha dan Bukit Botak seluas 53 ha. Bukit Besak, juga bukit tertinggi yang masuk wilayah Desa Sukakarya Kecamtan STL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas.
 
Kerena berbatasan dengan Kota Lubuklinggau, ada tiga kecamatan yang mengelilingi Bukit Cogong, yakni STL Ulu Terawas, Tugumulyo dan Lubuklinggau Utara 1 Kota Lubuklinggau.
 
Bukit Cogong terdiri dari tiga desa yang masuk wilayah Kabupaten Musi Rawas yakni Desa Sukakarya, Srimulyo, Sukorejo, sedangkan empat desa di kecamatan Lubuklinggau Utara I yakni Margabakti, Margorejo, Tababaru dan Durian Rampak berada di adminitrasi Kota Lubuklinggau.

Kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong secara geografis terletak pada 102,87o- 102,94o Bujur Timur dan pada 3,12o-3,18o Lintang Selatan.

Kaki Bukit Gokong [Tasmalinda/Suara.com]

Udara pagi, Bukit Cogong yang segar menyapu dedaunan sekaligus menyempurnakan suhu dingin di kaki bukit. Udara yang amat sehat di situasi pandemi seperti saat ini.
 
Para petani datang berangsur-angsur ke kamp Nibuansyah. Mereka memarkirkan motor-motor yang dikendarai guna menuju kebunnya.
 
Sebagian besar atau mungkin mencapai 70 persen, tutupan di hutan yang diakses masyarakat ialah tanaman yang diambil manfaatnya berupa hutan bukan kayu, seperti getah karet, durian, dan kopi.
 
Tanaman – tanaman ini memang diusahakan masyarakat, namun tidak membawa kayunya keluar hutan.
 
Seperti ini konsep perhutanan sosial. Konsep kebijakan sebagai solusi bagi masyarakat yang terlebih dahulu berada di kawasan hutan seperti Nasibuansyah dan puluhan masyarakat lainnya.
 
Keberadaan mereka telah ada sebelum akhirnya ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung (HL) oleh pemerintah.

Baca Juga: Karyawan Hotel dan Restoran di Sumsel Banyak Belum Divaksin COVID-19, Ini Langkah PHRI

Solusi perhutanan yang dinilai memberikan akses kelola rakyat agar tidak lagi berstatus perambah.
 
Pagi itu, Ujang Syahrudin juga mendatangi kamp Nibuansyah. Sama seperti Nibuansyah, ia juga perambah kawasan hutan lindung tersebut, namun memulainya di kawasan Bukit Gatan.
 

Nibuansyah (kiri) bersama Ujang Syahruddin, masyarakat di Bukit Cogong [Tasmalinda/suara.com]

Bukit Gatan, ialah bukit yang juga berada di lanskapkan Bukit Cogong.
 
Meski sudah berumur, Ujang masih semangat berbagi kisah masa lalunya merambah Bukit Gatan. Ujang dan Nibuansyah, sosok perambah yang sedikit beda generasi. Ujang lebih dahulu merambah kawasan bukit tersebut.
 
Ia pun mengaku merambah karena desakan tawaran pembelian kayu dari pihak luar kawasan, termasuk ingin berkebun kopi.
 
Meski kurang sehat badan, Ujang semangat mengajak mengunjungi Bukit Gantan.
 
Bukit yang dahulu pernah dia rambah, namun kini ia jaga.
 
Akses dari kamp Nibuansyah ke pintu masuk Bukit Gatan tidak jauh, sekitar 20 menit dengan melewati akses jalan desa beraspal.
 
Perjalanan pun akan ditemani suguhan pemandangan di kaki bukit dengan hamparan sawah dan kolam ikan melengkapi telah kembalinya ekosistem ketiga bukit itu.
 
Bukit Cogong memang terlihat lebih besar dari Bukit Gatan. Sementara Bukit Gantan terlihat lebih tertutup vegetasi dari Bukit Botak.
 
Nama Bukit Botak pun, banyak cerita. Muncul cerita yang mengungkapkan Bukit Botak disematkan karena adanya degradasi yang tinggi, sehingga mengakibatkan tutupan lahan menipis. Selain itu, juga pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan atau karhutla.
 
Karena itu, kata Bukit Botak identik dengan makna harfiah yang berarti tidak berambut atau tidak bervegetasi.
 
Akan tetapi, banyak juga yang menyakini Bukit Botak lebih bertopografi bebatuan, sehingga mengakibatkannya sulit ditumbuhi tanaman.
 
Hal itu yang akhirnya menyebabkan Bukit Botak tidak memiliki banyak vegetasi, melainkan hanya bebatuan besar.
 

Kaki Bukit Cogong [Tasmalinda/Suara.com]

Menghidupkan Ekowisata Bukit Gatan
 
Pintu masuk Bukit Gatan ini sangat mudah diakses. Bukit dengan ketinggian sekitar 410 dpl ini, kerap menjadi tujuan para pendaki, baik kelompok pendaki atau keluarga.
 
Ujang semangat sekali mengajak untuk menaiki kawasan Bukit Gatan. Bukit ini berada di Desa Sukorejo dengan luas sekitar 1.261,01 hektar dengan lima dusun.
 
Di bukit ini, ada air terjun yang juga menjadi bagian Daerah Aliran Sungai (DAS) Megang. Air-air ini pun dialirkan ke rumah-rumah warga dengan pipa-pipa. Tentu air yang masih sejuk karena bersumber dari mata air perbukitan.
  
Menaiki Bukit Gantan tentu ditemani dengan semilir air jernih yang terus mengalir. Banyak pendaki yang memanfaatkan lokasi titik air sebagai titik beristirahat saat akan mendaki atau turun dari pendakian.
 
Di Bukit Gantan, pengunjung bisa mendaki setiap waktu, baik pagi hingga malam. Namun banyak pengunjung yang memilih waktu sore guna menikmati matahari tenggelam di atas bukit, tersebut seraya menikmati air terjunnya.

Kata Ujang, LPHD yang dipimpinnya, LPHD Sukorejo sangat ingin mengembangkan ekowisata di Bukit Gantan.

Seperti halnya jalur pendakian bukit Gatan yang pernah viral di media sosial dengan sebutan Negeri di Atas Awan Bukit Gatan, pada tahun 2020 lalu.

Baca Juga: Sumsel Genjot Produksi Padi lewat Program Optimalisasi dan Intensifikasi Lahan

“Sebelum pandemi, kunjungan lebih banyak. Kami ingin kembangkan wisata yang bisa memberikan nilai edukasi kepada pengunjung, seperti soal jangan meninggalkan sampah, jangan mengotori air, edukasi tentang rehabilitasi, dan tetap menjaga pesan leluhur,” ucap ia.

Status perhutanan sosial di Bukit Gatan baru diberikan pemerintah, dengan konsep Hutan Desa (HD).
LPHD Sukorejo diberi hak mengelola lahan atau Hutan Desa seluas 403 hektar di Bukit Gatan dengan legalitas Hutan Desa Sukorejo berdasarkan SK 6496/MenLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/10/2018 tertanggal 2 Oktober 2018.

Usia perhutanan sosial di Bukit Gatan yang lebih muda dibandingkan Hutan Kemasyarakatan (HKM) Bukit Cogong.
HKM Bukit Cogong lebih dahulu diperoleh masyarakat, yakni sekitar tahun 2015, dengan pengusulan yang sudah jauh lebih lama. Dengan wilayah kelola sebesar 290 hektar (ha) pada sekitar 90 kepala keluarga (KK).
 

Bersambung ..

Load More