SuaraSumsel.id - “Sudah sampai ya, tidak tersesatkan?, tinggal ikutin jalan aspal. Mobilnya digeser sedikit ke kiri, ada banyak ranting di pohon-pohon tinggi ini. Biasanya, penduduk sini, sudah tahu di mana posisi parkir,” kata pria yang muncul dari jalan setapak di pintu masuk kaki bukit.
Sapaan nan ramah dilontarkan saat mengetahui ada kunjungan para tamu. Pria kelahiran 1963 ini mengetahui betul, jika kedatangan tersebut ialah orang asing alias bukan penduduk setempat.
Kedatangan pada malam hari bukan masalah. Karena ia telah menyediakan kamp yang juga merupakan tempat tinggal bersama keluarganya.
Kamp dengan kontruksi bangunan sebagian dari kayu ini bisa disinggahi pendatang untuk sekadar melepas lelah dari perjalanan selama delapan jam dari kota Palembang, Sumatera Selatan.
Banyak pohon karet, dan pohon hutan lainnya dengan ketinggian tertentu seolah menjadi pagar, pembatas jalan, dan barisan penerima para tamu di kaki bukit.
Tulisan Bukit Cogong ialah penanda telah memasuki kawasan bukit besar yang berada di sebelah barat lanskap Sumatera bagian Selatan ini.
Malam itu, angin pun bertiup sedang. Petanda musim kemarau, namun udara masih lembab. Kelembapan khas hutan tropis milik Indonesia.
Dengan penerangan yang cukup, sungguhan kopi hasil bumi bukit penyangga Taman Nasional Kerinci Sebelat atau TN Kerinci Sebelat ini pun pelengkap teman bertamu.
Sang penerima tamu, ialah Koordinator Hutan Kemasyarakatan (HKM) Bukit Cogong, Nibuansyah.
Meski begitu, siapa bisa sangka sejak dekade tahun 1970 an, hutan di bukit ini kerap dirambah termasuk oleh sosok Nibuansyah ini.
Menyambut tamunya, ia bersemangat bercerita mengenai masa lalunya tersebut. Kelompok perambah hutan di Bukit Lanskap Cogong. Nada bicaranya semangat mesti mengenang masa kelam.
Awalnya, mereka membuka pemukiman sekaligus pertanian. Tentu, bermula di kaki bukit dan namun lambat laut menyisir bagian atas bukit.
Ia pun membongkar cerita rayuan pemodal yang membutuhkan banyak balok kayu ke Pulau Jawa. Saat itu, perambahan dilakukan juga didukung hak kelola pesirah atau marga.
Dahulu puluhan keluarga transmigrasi Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas tidak punya lahan garapan. Mereka mengusulkan hak kelola pada pesirah pada lahan adat Padu Raksa di Bukit Cogong.
Sampai akhirnya di 1963, permohonan itu dipenuhi dengan lahan kelola 105 hektar (ha). Beberapa waktu selanjutnya datang pula warga program transmigrasi yang mengelola lahan 50 hektar lainnya.
Makin ramai penduduk, maka terbentuk pemukiman diberi nama Desa Sukakarya. “Saya generasi kedua di sini. Orang tua saya datang sekitar 1961. Tiga tahun kemudian, saya lahir di desa ini. Kami membuka lahan, beramai-ramai jual kayu,” aku bapak tiga anak ini.
Sekitar tahun 1970 an, kayu hutan ditawar sangat menggiurkan dan mahal. Untuk Kayu Tembesu (Fagraea fragran Roxb) dihargai tinggi karena dibutuhkan bagi pembangunan di Pulau Jawa.
Rayuan yang semakin kencang membuat masyarakat pun makin banyak yang mengambil kayu hutan. “Saya juga perambah, waktu itu,” aku Nibuansyah ini.
Tidak hanya bukit Cogong, dua bukit lainnya yakni Bukit Gantan dan Bukit Botak menjadi korban perambahan.
Dua bukit ini juga bagian penyangga TN Kerinci Sebelat meski saat ini sudah terbelah oleh jalan lintas tengah Sumatera.
Ketiga bukit ini berdekatan, seolah membentuk pagar lindung di gugusan bukit bagian barat Sumatera Selatan ini.
Lambat laun, bukit kian gersang dan gundul. Sempat di dekade berikutnya bencana longsor seolah senang bertamu kala musim hujan. Beberapa lapisan tanah bergerak menuruni yang mengancam pemukiman dan lahan pertanian milik masyarakat di kaki bukit.
Ia mengaku tidak hapal betul seberapa sering bencana longsor telah terjadi sepanjang tahun setelah pembalakkan dan perambahan besar-besaran tersebut.
Namun data diperoleh, proses perambahan masih terjadi sampai tahun 1980 an. Setelah itu, masyarakat kemudian menanam tanaman musiman.
Desa Sukakarya mengalami banjir besar dan longsor tahun 1993. Pada 1997, Desa ini pun pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan atau karhutla nan hebat.
Nibuansyah hanya teringat pada ketakutan bukit akan longsor dan berdampak merugikan. Pengalaman banjir dan longsor di tahun 1993 ini ibarat mimpi buruk bagi Nibuansyah.
Tidak ada korban jiwa pada peristiwa itu, namun pergerakkan bukit mengubah topografi sekaligus merusak apa yang sudah ditanam. Banyak kerugian dialami.
Dari peristiwa ini, Nibuansyah tergerak menjadi salah satu motor penggerak pemulihan kawasan bukit.
Manurut ia, tidak mudah mengajak dan mengubah perilaku masyarakat menyelamatkan hutan. Apalagi berbicara mengenai peran hutan sebagai sumber oksigen manusia bernafas.
Meski minuman kopi yang disajikan di kamp, lambat laun menyusut dari dalam gelas. Nibuansyah belum lelah berbagi kisah masa lalunya. Tulisan di pucuk pintu masuk kamp itu berbahasa daerah,
“Sekato Sepemendangan. Ke hulu Kinen Ke hilir Ujar Jawi,” sangat berfilosofi.
Ia mengungkap, pepatah itu sebagai pedoman hidupnya kini, terutama bagaimana menjaga kawasan hutan Bukit Cogong.
“Termasuk bagaimana generasi muda saat ini yang harus menjadi pelestari alam bukan hanya pecinta alam. Jika cinta saja, kadang lupa melestarikan. Jika melestarikan, tentu cinta hutan dan alam,” imbuh ia.
Kata Nibuansyah, banyak pengunjung yang datang ke kawasan hutan, tapi lupa melestarikan hutan.
“Masyarakat setempat atau masyarakat pengunjung hanya ingin menikmati, namun belum melestarikan Bukit Cogong sebagai kekayaan daerah,” sambung ia.
Penyuka musik lawas ini mengungkapkan perlu komunikasi khusus menyampaikan peran dan fungsi hutan, baik pada anggota Hutan Kemasyarakatan (HKM) terkhusus bagi pengunjung.
Bersambung..
Baca Juga: Karyawan Hotel dan Restoran di Sumsel Banyak Belum Divaksin COVID-19, Ini Langkah PHRI
Tag
Berita Terkait
-
Menjelajahi Hutan Digital di teamLab Forest Fukuoka Jepang
-
426 Hektare Lahan Hutan Cagar Alam Maninjau Agam Dibabat, Disulap Jadi Perkebunan
-
Kanada Dilanda Cuaca Panas Ekstrem, 719 Orang Tewas dan Lebih dari 100 Hutan Terbakar
-
Tempat Wisata di Ubud Bali, Hutan Hujan Hingga Terasering Padi
-
Wisata Hutan Mata Kucing Batam, Legenda Tempat Buang Jin yang Kini Bersolek Jadi Indah
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Selevel Innova Budget Rp60 Jutaan untuk Keluarga Besar
- 5 Pilihan Ban Motor Bebas Licin, Solusi Aman dan Nyaman buat Musim Hujan
- 5 HP Memori 128 GB Paling Murah untuk Penggunaan Jangka Panjang, Terbaik November 2025
- 5 Mobil Keluarga Bekas Kuat Tanjakan, Aman dan Nyaman Temani Jalan Jauh
- Cara Cek NIK KTP Apakah Terdaftar Bansos 2025? Ini Cara Mudahnya!
Pilihan
-
Cuaca Semarang Hari Ini: Waspada Hujan Ringan, BMKG Ingatkan Puncak Musim Hujan Makin Dekat
-
Menkeu Purbaya Mau Bekukan Peran Bea Cukai dan Ganti dengan Perusahaan Asal Swiss
-
4 HP dengan Kamera Selfie Beresolusi Tinggi Paling Murah, Cocok untuk Kantong Pelajar dan Mahasiswa
-
4 Rekomendasi HP Layar AMOLED Paling Murah Terbaru, Nyaman di Mata dan Cocok untuk Nonton Film
-
Hasil Liga Champions: Kalahkan Bayern Muenchen, Arsenal Kokoh di Puncak Klasemen
Terkini
-
Buruan! 7 Link Dana Kaget Hari Ini Sudah Rilis, Langsung Cair ke Akun DANA Kamu
-
Gubernur Herman Deru Dorong Generasi Muda Berani Berinovasi di Ajang Lomba SMK & Job Fair 2025
-
Herman Deru Buka Arah Legislasi 2026: Empat Raperda Prioritas Masuk Propemperda
-
Herman Deru: Kunci Ketahanan Pangan Sumsel pada Integrasi HuluHilir, Bukan Sekadar Produksi
-
Sumsel Siap Jadi Destinasi Health Tourism 2026, Peringatan HKN ke-61 Jadi Titik Balik