Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Senin, 07 Desember 2020 | 22:50 WIB
Helikopter waterbombing parkir di Lapangan Udara (Lanud) Sri Mulyono Herlambang yang bersebelahan dengan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Sumsel, Senin (16/9/2019). (Antara)

SuaraSumsel.id - Tahun 2020 ini memang jumlah titik panas akibat kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan tidak sebanyak 2019, apalagi pada 2015.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Selatan mencatat, titik panas pada tahun ini hanya 4.434 kejadian berdasarkan pemantuan satelit landsat.

Jumlah titik panas yang lebih rendah dibandingkan Oktober 2019 yang menjadit puncak titik api terbanyak tahun lalu.

Oktober itu terjadi 6.537 titik panas, sedangkan di tahun 2015, titik panas terbanyak terjadi pada September yang mencapai 15.995 titik panas.

Baca Juga: Kesedihan Keluarga Serang Speedboat yang Hilang: Ia Biasanya Cepat Pulang

Tapi pengalaman selama lima tahun ini mampu memperlihatkan, pelaku pembakar lahan sulit dijerat guna bertanggungjawab.

Termasuk di antaranya pemilik lahan konsesi perkebunan sawit dan usaha kehutanan yang bebas melenggang dari jerat pengadilan.

Pantuan titik panas di Sumatera Selatan selama lima tahun terakhir [PRIMS BRG]

September hingga Oktober kala itu menjadi catatan buruk bagi lingkungan di Sumatera Selatan.

Partikel asap bercampur dengan debu menghitamkan udara. Jarak pandang berkendara berkurang dan dada terasa sesak.

Di pertengahan Oktober, langit Sumatera Selatan terutama di Palembang kian pekat akibat kabut asap.

Baca Juga: Berencana Liburan di Akhir Tahun? Tiket Kereta Api Sudah Bisa Dipesan Lho

Udara bercampur karbon hasil kebakaran hutan dan lahan mengubah langit menjadi sangat gelap. Jarak pandang sangat rendah, berkendara pun susah.

Belahan asap pun masuk ke tenggorokan warga membuat sesak dan memancing batuk.

Imbas lainnya, yakni lalu lintas transportasi perairan pun terganggu. Seperti dialami kapal-kapal yang berlayar di Sungai Musi dengan jarak pandang yang rendah, hingga lajunya pun melambat.

Itu potret kejadian lima tahun yang lalu.

Pada Oktober 2014, jelang masa peralihan kekuasaan politik dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Presiden terpilih Joko Widodo dan pasangannya, Jusuf Kalla.

Udara Palembang yang pekat akibat bercampur asap kebakaran hutan dan lahan, juga dialami di Desa Jerambah Rengas, desa di Ogan Komering Ilir (OKI).

Asap di desa lebih pekat karena pengakuan warga, kebakaran banyak berasal dari desa tetangga.

Tokoh Masyarakat Jerambah Rengas, Muhammad Syukrie menceritakan kebakaran lahan berlangsung berhari-hari juga di desa tetangga.

Api berasal dari beberapa lokasi dan juga terbakar sangat lama, hampir berhari-hari.

“Jika mengenang itu, menyedihkan sekali. Udara pekat sekali, udara bercampur asap sangat menusuk tenggorokan” ujarnya ditemui medio Oktober 2020 lalu.

Ia menceritakan, kebakaran terjadi pada lahan yang digarap perusahaan bubur kertas, seperti PT. Bumi Mekar Hijau yang berada di desa tetangga.

Namun, Syukrie mengaku tak tahu persis penyebab kebakaran di kawasan perusahaan, hanya saja akibat kebakaran tersebut warga sangat terdampak.

“Karena lokasinya cukup jauh dari pemukiman warga, sehingga tidak diketahui penyebab pastinya. Tahun 2019, juga terbakar lagi,” ucap dia.

Syukrie menambahkan rawang lebak yang merupakan lahan kolektif warga, juga berbatasan dengan kanal-kanal perusahaan di sekeliling desa.

Kekinian, kondisinya semakin mendangkal.

“Banyak pembangunan kanal-kanal sebagai batas lahan perusahaan sekaligus pengairan perusahaan. Sekarang, kanal juga dipakai transportasi mengangkut tanaman hutan akasia ke luar kebun. Kanal-kanal makin banyak dibangun setelah terjadi kebakaran 2015,” ucapnya.

Kades Simpang Tiga Induk, Daheri juga menceritakan kondisi yang sama.

Tapi ia hanya memahami bahwa kebakaran hutan dan lahan sekadar bencana musiman. Bencana ini akibat kemarau panjang meski berpengaruh pada kesehatan pernapasan warga.

“Anak-anak di desa juga ada yang batuk, tapi karena musim kering memang musim kebakaran lahan. Musiman itu, ” katanya.

Saat 2015 itu, ia baru terpilih menjadi kepala desa.

Karena itu, ia berusaha membuat daftar persoalan yang terjadi di desa, termasuk luasan lahan yang menjadi milik warga dan perusahaan.

“Iya di desa ini, ada lahan warga yang terbakar, ada juga di lahan perusahaan, tapi terpisah-terpisah. Tahun 2015 terjadi terbakar besar, karena musim kemarau panjang,” ucapnya.

Dia juga cerita ada sejumlah warga yang mengalami sakit saluran pernapasan akibat menghirup asap kebakaran hutan dan lahan.

Tetapi, tak ada warga yang sampai dievakuasi.

Bertepatan dengan kabut asap karhutla, juga berlangsung sidang pembuktian kasus kebakaran hutan dan lahan di Palembang, Sumatera Selatan.

Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.AGR hadir menjadi saksi ahli dalam persidangan menggugat perusahaan grup besar di Indonesia, PT. Bumi Mekar Hijau.

Sidang perkara perusakan lingkungan hidup dan ekosistem ini jadi tonggak sejarah baru, tak hanya di Sumatera Selatan, tapi juga di Indonesia.

Ia pun dua kali menggelar sidang di lapangan, saksi ahli berusaha membuktikan kabut asap dipicu kebakaran di lahan yang ditanami akasia.

Tanaman akasia juga dikenal sebagai bahan baku industri bubur kertas yang tengah dipersiapkan di Pesisir Timur Pulau Sumatera ini.

Prof Bambang ingat betul, dia dua kali hadir membeberkan bukti di lapangan guna perkara gugatan yang diajukan pemerintah Indonesia terhadap perusahaan kebun akasia, PT. BMH.

Proses sidang kasus gugatan PT. BMH di Pengadilan Negeri kelas 1 Palembang [dok. Perkumpulan LH]

Pembuktian pertama berlangsung dua hari, yakni 22-23 Oktober 2014 saat kasus masih bergulir di Pengadilan Negeri kelas I Palembang sebagai perwakilan peradilan hukum perdata di Sumatera Selatan.

Prof Bambang sebagai Kepala Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan IPB mengamati dan memeriksa lokasi titik api berdasarkan satelit MODIS bersama dengan Ahli Kerusakan Lahan IPB, Basuki Wasis, Tim Bareskrim Polri, tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Saat itu, Prof Bambang membenarkan kalau titik panas pemicu kebakaran lahan berasal dari kebun akasia di kawasan hutan industri, lewat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Bumi Mekar Hijau.

Sumber pemicu kebakaran menurut Bambang Hero ada di lahan gambut yang sudah dan belum ditanam (moratorium), hingga di kawasan konservasinya.

Dua lokasi yang diselidiki di antaranya, Distrik Beyuku, di petak SBE 2070.

Prof Bambang mengatakan saat diverifikasi lokasi kebakaran sangat menyedihkan.

Tanaman yang sudah dan belum dipanen hangus terbakar.

Pepohonan tampak menghitam pada kulit dan batang yang terbakar. Pada petak ini, perusahaan telah melakukan penanaman kembali, karena terlihat banyak batang yang sudah diratakan oleh alat berat dan bersiap untuk tahap penanaman selanjutnya.

Begitu pun yang terjadi pada petak SBE 2140 Distrik Beyuku, dari kejauhan tampak masih menghitam permukaannya.

Investigasi ke lapangan ini menyertakan pengamanan dari aparat kepolisian. Setelah diverifikasi tanaman akasia liar yang tumbuh di areal bekas dipanen telah terbakar dan dalam proses pembersihan.

“Akasia tumbuh yang menurut pekerja baru sekitar 2 hari dikerjakan. Kondisi serupa juga tidak jauh berbeda, di petak lainnya, yakni petak SBN 2150,” katanya kepada Suarasumsel.id-jaringan Suara.com, dalam wawancara yang berlangsung tertulis belum lama ini.

Pada proses verifikasi, titik api juga ditemukan di areal konservasi yang telah terbakar, tidak hanya di bagian luar, namun juga bagian tengah yang topografinya relatif sudah terbuka.

“Tidak nampak pula upaya pengendalian yang cukup guna mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan,” sambung Prof Bambang.

Dalam persidangan di akhir tahun 2014 itu, Prof Bambang memastikan jika tanaman akasia yang terbakar secara kasat mata, tumbuh tidak terlalu baik karena banyak gulma dan tumbuhan permukaan di lahan tanaman.

“Diketahui juga saat verifikasi lapangan jika bagian terluar dari lahan terbakar tidak berbatas langsung dengan perkampungan penduduk karena jaraknya yang sangat jauh,” terang ia.

Selain itu, diketahui juga jika berdasarkan hasil verifikasi jumlah karyawan di distrik Simpang Tiga hanya sebanyak 53 orang, sekaligus hanya memiliki satu tim pasukan pemadam kebakaran yang hanya berjumlah enam orang.

Temuan lainnya, pengendalian kebakaran di distrik tersebut sangat minim.

Di lokasi, tidak tersedia menara pengawas api, papan peringatan, alat pompa, dan selang yang terbatas dan sudah nampak lapuk.

Terdapat juga gudang yang menyimpan peralatan yang tergabung dengan kantor alat tulis dengan kondisi gedung yang tidak memadai.

“Titik menara pemantau api tidak berada di dua distrik ini. Alat transportasi di distrik Simpang Tiga hanya satu kendaraan Caisar yang sangat terbatas dan perahu bermesin kecil,” ujar ia.

Pembuktian titik panas atau dikenal hotspot bersumber dari pengamatan satelit Terra Aqua MODIS milik NASA.

Titik panas menunjukkan indikasi kebakaran melalui peningkatan suhu di permukaan. Dari analisis data satelit juga diketahui, kebakaran hutan dan lahan di lokasi perusahaan tak hanya terjadi pada 2014 saja, melainkan terjadi saban tahun sejak 2010, 2012 dan 2013.

Dari hasil pemantauan, pada 2010 terdeteksi 17 titik api, tahun 2012 terdeteksi 38 titik dan tahun 2013 terdeteksi 66 titik api.

Dari hasil verifikasi pun diketahui jika lahan yang terbakar berada di areal IUPHHK-HT PT. Bumi Mekar Hijau (PT.BMH) yang termasuk distrik Simpang Tiga dan Beyuku, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Dalam analisisnya, luas areal yang terbakar pada tahun 2014 itu diperkirakan 20.000 hektar yang meliputi areal tanaman Acacia Crassicarpa/Acacia Mangium yang berbeda umur pada lahan moratorium dan lahan land clearing.

Dari kebakaran seluas itu diperkirakan telah melepas 135.000 ton karbon, 47.250 ton CO2, 491,4 ton CH4, 217,35 ton, NOX sebanyak 604,8 ton, NH3 sebanyak 500,85 ton, serta O3 sebanyak 8.741,25 ton serta 10.500 ton partikel CO.

Dari kerusakan lingkungan tersebut, maka Pemerintah Indonesia mengalami kerugian Rp 7.9 triliun.

Kasus yang bergulir “panas” di Pengadilan Negeri Kelas 1A Palembang ini, seiring dengan musim kemarau yang kembali terjadi pada tahun 2015.

Pada Oktober 2015, penderita penyakit inspeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di Sumatera Selatan meningkat.

Data selama tiga bulan terakhir saja, penderitanya sudah mencapai 32.860 orang. Kepala Dinas Kesehatan Sumsel, Lesty Nurainy mengatakan pada Oktober 2015, telah terjadi penambahan kasus dengan 6.398 penderita.

“Dari data September, di Sumsel sudah terdata 29.462 orang, sedangkan 15.474 ialah warga Palembang. Jumlah penderita ISPA bertambah cukup cepat. Sepekan, bisa mencapai 6.398 orang,” ujarnya Kamis (8/10/2015).

Kebakaran lahan besar pun mendorong Presiden Joko Widodo untuk langsung meninjau Provinsi Sumatera Selatan.

Pada akhir pekan, Minggu 6 September 2015, Presiden Joko Widodo menempuh jalur darat menuju Desa Pinang Raya, Pedamaran, Kecamatan Pangkalan Lampan yang juga berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Lokasi yang dipilih masih dalam kabupaten yang sama dengan lokasi perusahaan yang sedang digugat negara tersebut, PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH).

Meski Presiden Joko Widodo menunjukkan keseriusannya atas bencana karhutla, namun aparat penegak hukum negara yang dipimpinnya seolah tidak memiliki semangat yang sama.

Kebakaran hutan dan lahan di Desa Sungai Rambutan, Indralaya Utara, Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Kamis (14/9/2019).

Menjelang hari libur Natal di penghujung tahun 2015, di mana rintik musim hujan sudah makin sering, majelis Pengadilan Negeri Kelas 1A Palembang juga berusaha menghapus jejak kebakaran tersebut.

Dalam amar keputusannya, Ketua Majelis Hakim Parlas Nababan dengan anggota Eli Warti dan Kartidjo menolak seluruh gugatan yang dilayangkan oleh Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tersebut.

Majelis hakim dinilai mengabaikan fakta-fakta lapangan atas pembuktian titik api di lahan perusahaan pemasok bubuk kertas bagi PT. OKI Mill Pulp and Paper di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan tersebut.

Kesaksian ahli kebakaran hutan, Bambang Hero sepertinya tidak digubris majelis hakim.

Padahal dalam kesaksiannya, ia menemukan dan membuktikan bahwa perusahaan PT. BMH melakukan kegiatan pembakaran secara sistematis dan terencana melalui pembiaran terhadap terjadinya kebakaran.

Jilatan api tak bisa dikendalikan karena minimnya sarana dan prasarana pengendalian yang menunjukan kesengajaan pihak perusahaan atas bencana karhutla yang terjadi di Sumatera Selatan.

Bambang menegaskan di balik pembiaran terjadinya kebakaran ini terkandung motif-motif tertentu.

Pada tahun yang lama, lembaga swadaya masyarakat di Sumatera Selatan, yakni Walhi Sumsel, HaKI, PINUS, LBH Palembang dan Jaringan Masyarakat Gambut Sumsel membeberkan fakta atas kelalaian perusahaan terutama pemilik izin hutan tanaman industri.

Dalam keterangan pers bersama itu, diketahui PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) ialah perusahaan dengan lahan terbakar paling luas di tahun 2015.

Jika pada tahun 2014, berdasarkan analisa titik panas yang kemudian di-tumpang susunkan dengan data peta bekas lahan terbakar diketahui jika luas kawasan konsesi yang terbakar mencapai 63.064 hektare.

Luasan itu menurut lembaga peduli lingkungan hidup setara dengan 25 persen lahan dari total luas konsesi mencapai 250.370 hektare.

Jika pada 2014, seperempat luas konsesi yang terbakar, pada 2015 kasus karhutla yang terjadi di kawasan perusahaan yang sama mencapai 108.023 hektare.

Luasan itu setara dengan 43 persen luas konsesi yang dipegang perusahaan.

Pada hasil dana analisa kebakaran hutan dan lahan dari lima lembaga swadaya itu, PT. Bumi Mekar Hijau tidak sendiri.

Bersama perusahaan terafiliasi PT. Sinar Mas Group itu, ada sederet nama perusahaan penyulut api di Sumatera Selatan, seperti: PT. Bumi Andalan Permai di Ogan Komering Ilir, PT. SBA Wood Industries di Kabupaten OKI, serta PT. Rimba Hutani Mas di Kabupaten Musi Banyuasin juga dengan izin HTI akasia yang dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan bubur kertas.

Data Haki [Dok. Haki]

Dari Sumber Citra Satelit Landsat8, November 2015 dengan dikomplasi tim GIS HaKi, diketahui Kabupaten Ogan Komering Ilir sebagai kabupaten penyumbang titik panas terbanyak pada 2015 di Sumatera Selatan.

Total luas kawasan yang terbakar di OKI mencapai 473.101 hektare.

Luasan itu setara dengan 24,8 persen lahan di kabupaten yang luasnya sekitar19.023,47 km persegi, atau seluas 1.902.347 hektare.

 “Walhi sangat menyesalkan ketika Pengadilan Negeri malah tidak mengabulkan gugatan tersebut. Berbagai bukti dan keterangan ahli telah dihadirkan sebagai fakta jika perusahaan memiliki motif membiarkan kebakaran hutan dan lahan sehingga merugikan, terkhusus bagi kesehatan masyarakat,” ujar Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumatera Selatan pada saat itu, kepada Suarasumsel.id, (25/10/2020).

Hadi juga menyinggung, selain kerusakan ekologis di lahan yang terbakar juga ada kerugian materil yang seharusnya bisa dinilai akibat kelalaian perusahaan.

Misal bertambah ongkos kesehatan masyarakat terdampak kabut asap, terutama masyarakat yang berada dekat di kawasan yang muncul titik panas. Keputusan hakim di Pengadilan Negeri itu pun sempat juga dikritik publik.

Sejumlah kampanye muncul dari petikan keputusan vonis itu. Masyarakat terutama di Sumsel meluapkan seluruh kekesalan mereka di media sosial.

Di Jakarta, penolakan gugatan perdata oleh Majelis Hakim PN Kelas 1 Palembang ditanggapi serius oleh pemerintah.

Pada awal 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan banding atas putusan yang memenangkan perusahaan yang berafiliasi dengan Sinar Mas Group.

Upaya ini membuahkan hasil yang menggembirakan.

Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan mengabulkan gugatan Pemerintah terhadap PT. BMH dengan mengharuskan perusahaan membayar ganti rugi sebesar Rp 78 Miliar.

Jumlah putusan ganti rugi itu sebenarnya belum seberapa jika dibandingkan dengan ganti rugi yang harus dibayarkan perusahaan Kelapa Sawit Kalista Alam yang mencapai Rp 366 miliar rupiah yang terbukti merusak habitat orangutan Sumatera di Rawa Tripa, Aceh.

Meski begitu, keputusan Pengadilan Tinggi, nomor 51/PDT/2016/PT.PLG tersebut bisa menjadi sejarah positif untuk penegakan hukum atas kerusakan lingkungan di Indonesia.

Amar putusan Pengadilan Tinggi waktu itu mengacu pada penghitungan empat kerugian yang muncul dalam dakwaan.

Perhitungan kerugian itu berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang memuat empat kerugian ekologis, yakni kerusakan pada tanah gambut akibat kehilangan fungsinya menyimpan air, kerugian akibat kehilangan keanekaragaman hayati dan sumber daya genetika.

Dua kerugian lainnya, yakni kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara (carbon release). Keempat adalah penghitungan atas kerugian ekonomi yang mengacu pada masa usia produktif tanah.

Amar Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan itu dinilai Hadi Jatmiko keputusan yang tanggung.

Sebab, tuntutan pemerintah untuk bisa menyita aset atau menyudahi usaha konsesi perkebunan tidak dikabulkan majelis hakim.

“Misalnya, menyita aset PT. BMH yang diketahui berupa tanaman produksi atau bangunan kantor dan lainnya,” ujar ia.

Pada poin analisis hukum lainnya, ia juga mengevaluasi ada tidaknya jaminan jika tergugat ingkar membayar kewajibannya dan upaya pemerintah untuk mengikat pihak tergugat yang lahan konsesinya rutin terbakar.

Akademisi Hukum Lingkungan Universitas Gajah Mada, Agung Wardana menjelaskan eksekusi hukum atas keputusan pengadilan atas perkara karhutla memang masih bermasalah.

Pertama, setelah keputusan hukum tetap yang berwenang mengeksekusi adalah pengadilan.

Akan tetapi pengadilan akan meminta KLHK menyampaikan data mengenai aset perusahaan yang akan dieksekusi.

“Untuk itu, KLHK harus meminta data dari perusahaan, PPATK untuk transaksi keuangannya dan BPN untuk data HGU. Masalahnya berlarut, apabila perusahaan malah tidak korporatif memberikan data,” katanya dihubungi Suara.com, Senin (10/11/2020).

Menurut ia, pemerintah dalam hal ini KLHK, BPN dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus berkoordinasi.

Kekhawatiran lain, ialah rendahnya nilai ganti rugi karena perusahaan menurunkan nilai aset yang dimiliki, saat pemerintah ingin mengantongi data aset perusahaan.

“Bisa jadi dalihnya malah keringanan jumlah yang harus dibayarkan atau pembayaran dicicil,” sambung dia.

Karena itu, tambah Agung, Presiden harus bisa memastikan kementerian terkait untuk bisa berkoordinasi dalam pengumpulan data aset perusahaan.

Menurutnya, untuk kasus karhutla semestinya, KLHK menggunakan jalur pidana yang digabung dengan gugatan perdata agar proses eksekusi bisa berjalan bersamaan.

Penggabungan dua jeratan hukum ini akan lebih menimbulkan shock therapy bagi perusahaan.

“Hukum Indonesia belum berpihak pada lingkungan karena perkara lingkungan dilihat sebagai perkara biasa. Padahal perkara lingkungan adalah perkara struktural menyangkut pihak yang punya kekuasaan ekonomi dan politik melawan rakyat yang hak kesehatannya dilanggar dan lingkungan yang merupakan ruang hidup dirusak,” tegasnya.

Mestinya, kata dia, negara tampil lebih menegakkan dan membela hak rakyat dan lingkungan ini. “Yang terjadi justru negara terlalu lemah ketika berhadapan dengan korporasi dan bahkan sering pula berada di pihak korporasi,” pungkasnya.

Berdasarkan analisis data peta Perkumpulan Lingkar Hijau diketahui bahwa kebarakan terjadi dengan masif di lahan perusahaan tersebut.

Peta Kebakaran Hutan dan Lahan di PT.BMH {Dok. Perkumpulan LH]

Perkumpulan Lingkar Hijau menganilisis peta, diketahui jika terjadi 1.685 titik panas pada tahun 2015 di perusahaan PT. Bumi Mekar Hijau.

Dengan peristiwa ini, maka berdasarkan peraturan kementrian KLHK, perusahan memiliki kewajiban merestorasi kawasan berkanal yang merupakan zona budidaya seluas 22.387 hektar (ha), prioritas zona lindung (kubah gambut) seluas 80.898 ha, dan prioritas zona seluas 42.714 ha.

Bersambung .. 

Load More