Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Senin, 28 September 2020 | 14:32 WIB
Proses latihan teater yang berlangsung akhir pekan lalu. Sejumlah penari memperagakan aktivitas perempuan menjaring ikan. (dok.Panitia).

SuaraSumsel.id - Sungai Musi yang mengaliri kota Palembang sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama kalangan perempuan.

Dalam sejarahnya, sungai dengan panjang hingga 750 kilometer ini sudah sangat terkenal dalam perdagangan dunia.

Berbagai literasi menyebutkan, Sungai Musi ialah pusat pemerintahan Kedatuan Sriwijaya yang merupakan kerajaan bahari yang selama lima abad menjaga Nusantara.

Sayangnya, eksistensi Sungai Musi kini terancam akibat pembangunan dan aktifitas ekonomi yang tidak berkelanjutan.

Baca Juga: Mirip Jokowi, Pemkot Palembang Juga Bakal Pindah Kantor

“Bukan hanya dampak ekologi, seperti kehilangan sumber air bersih, kekeringan atau banjir, juga kita kehilangan identitas bersama peradabannya sebagai bangsa bahari,” kata Sonia Anisah Utami, Koreografer tari “Rahim Sungai Musi” yang akan dipertunjukan secara live streaming melalui Youtube, channel Rumah Sriksetra, pada Selasa [13/10/2020] pukul 14.00 WIB.

Pertunjukan “Rahim Sungai Musi” yang didukung Kemendikbud serta berbagai komunitas lainnya seperti Yayasan Malaya.

“Ini kerja kolaborasi antara dunia nyata, maya [internet], dan spiritual,” katanya.

Para pemain teater tengah latihan persiapan pertunjukkan Rahim Sungai Musi. (Dok.Panitia)

Para perempuan memiliki peran penting dalam membangun hubungan antar komunitas masyarakat dengan Sungai Musi, beserta delapan anak sungai besarnya. Seperti Komering, Ogan, Lematang, Semangus, Batanghari Leko, Rawas, Lakitan, dan Kelingi.

Ini dikarenakan perempuan setiap saat membutuhkan air dan pangan dari Sungai Musi untuk mengurus dan membesarkan anak-anaknya. Berbagai produk budaya merupakan pembauran antar budaya, seperti kerajinan dan kuliner yang masih bertahan di Sumatera Selatan yang sebagian besar dihasilkan atau diproduksi para perempuan.

Baca Juga: Terpidana Kasus Korupsi APBD Muara Enim Kembalikan Uang Rp1Miliar

Misalnya kerajinan kain [songket, jemputan, batik, dan lainnya], kuliner seperti pempek dan pindang ikan.

“Jika Sungai Musi mengalami kerusakan atau perubahan, tentu saja kelompok perempuan yang kali pertama menerima atau merasakan dampaknya. Mulai dari bencana banjir, kekeringan, kesehatan, dan ekonomi,” ungkap ia.

Selain itu dalam pertunjukkan tersebut juga kembali mengingatkan peradaban bahari itu yakni menjunjung nilai-nilai kebhinekaan.

“Sejak berabad-abad lalu Sungai Musi dikunjungi berbagai suku bangsa di dunia. Mereka membaur menjadi masyarakat melayu. Hybrid. Nah, hingga hari ini tercatat tidak pernah terjadi konflik antar suku atau etnis yang menetap di Sungai Musi, meskipun ada perbedaan bahasa, kepercayaan, dan lainnya,” kata Sonia.

Kesemuanya disatukan dengan tradisi yang berajak pada kearifan Sungai Musi, misalnya tata cara mandi, mencuci, mencari ikan, dan berperahu, termasuk pula tata cara berbahasa dan berinteraksi seperti berdagang.

“Semua komunitas mengenal sedekah sungai,” tutup Sonia.

Load More