SuaraSumsel.id - Di tengah hamparan lahan gambut dan rawa yang menyimpan kehidupan, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq berdiri tegas di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), Minggu (25/5).
Di hadapannya bukan hanya bentangan alam yang pernah terbakar, tapi juga angka kerugian ekologis yang mengejutkan: Rp18 triliun.
Itu harga yang harus dibayar atas kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Indonesia sejak 2020.
Bukan sekadar statistik, angka tersebut adalah bentuk nyata dari pohon-pohon yang hilang, satwa yang terusir, udara yang sesak oleh asap, dan masyarakat yang harus mengungsi atau menderita penyakit pernapasan.
Baca Juga:Diingatkan Setelah Bertahun-tahun Asap? 277 Perusahaan Sawit Sumsel Dikejar Deadline KLHK
“Ini adalah luka panjang yang tidak bisa dibiarkan,” ujar Hanif.
Menggugat Demi Keadilan Ekologis
Hanif mengungkapkan bahwa sejak 2019 hingga 2023, Kementerian Lingkungan Hidup telah mengajukan gugatan terhadap sejumlah perusahaan pemegang konsesi lahan yang terbukti lalai dalam mencegah karhutla.
Berdasarkan keputusan hukum yang telah inkrah, total kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan-perusahaan tersebut mencapai Rp18 triliun.
"Ini akan terus kami tagih kepada perusahaan-perusahaan tergugat tersebut," tegasnya.
Baca Juga:Guru Olahraga SMKN 1 Lubuk Linggau Cabuli Belasan Muridnya, Kebusukan Terbongkar
Ia menekankan, tanggung jawab tidak bisa lagi dialihkan ke masyarakat atau faktor alam.
Siapa pun pemegang konsesi, wajib menjaga wilayahnya dari potensi kebakaran. Jika terbukti lalai, bahkan jika api dipicu oleh pihak lain, mereka tetap bisa dikenai sanksi pidana.
Peringatan Tegas: Tak Cukup Maaf, Harus Ada Aksi
Tak hanya berhenti pada tuntutan ganti rugi, Kementerian LH kini mengambil langkah pencegahan lebih ketat. Semua perusahaan yang memiliki konsesi lahan diminta menyampaikan laporan penanggulangan karhutla dalam waktu dua minggu setelah menerima surat resmi dari kementerian.
“Apabila hal ini tidak dipenuhi oleh perusahaan, kami akan memberikan teguran yang berkonsekuensi sanksi pidana,” ujar Hanif.
Menurutnya, pengawasan ini bukan semata-mata soal kepatuhan hukum, tetapi bentuk tanggung jawab moral terhadap lingkungan dan generasi mendatang. “Kalau lahan-lahan ini terus dibiarkan terbakar, yang hancur bukan hanya hutan, tapi masa depan anak cucu kita,” katanya.
- 1
- 2