SuaraSumsel.id - Pembahasan mengenai Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tata ruang dan tata wilayah (RTRW) di Sumatera Selatan (Sumsel) disoal. Koalisi masyarakat sipil di Sumsel menilai draf akademik dari peraturan daerah tersebut tidak mencerminkan situasi objektif saat ini.
Temuan lainnya, ialah data dari luasan gambut di Sumsel yang menyusut. Karena itu, koalisi masyarakat sipil yang mengawal Raperda ini meminta agar pembahasan dihentikan sekaligus ditolak.
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sumsel, Yuliusman menilai banyak temuan yang memperlihatkan draf akademik tersebut tampak asal-asalan. Selain perihal luasan gambut, rancangan peraturan itu tidak mencerminkan situasi objektif tata ruang wilayah Sumsel saat ini. "Kami pun mempertanyakan keilmuan yang membuat naskah akademik pada rancangan Perda tersebut," tanyanya.
Setelah membaca naskah akademik tersebut, Yus menegaskan koalisi masyarakat menilai naskah akademik tidak mencerminkan kondisi tata ruang kabupaten kota sekaligus pijakan situasi lainnya, seperti indeks pertumbuhan masyarakat, kesenjangan pertumbuan, deforestasi dan bencana alam. Mencerminkan olahan data hasil riset yang sangat tidak konperhensif.
Baca Juga:Sumsel Tawarkan Diri Jadi Tuan Rumah Drawing Piala Dunia U-20
"Draf akademiknya malah tidak menjawab persoalan, penyusunan tidak jelas dan sangat terkesan asal-asalan. Naskah akademik yang tidak akademis. Khawatiran besarnya, ini menjadi produk hukum yang kacau dan tidak berkualitas," imbuh Yus kepada awak media, Selasa (29/3/2023).
Di kesempatan yang sama, Ketua SBC Abdul Haris Alamsyah menambahkan temuan mengenai luasan gambut yang sangat dipertanyakan. Di naskah akademik disebutkan jika luasan gambut Sumsel hanya berada di tiga kabupaten dengan areal 3.000 ha.
Padahal berdasarkan pemetaan kawasan gambut nasional, terdapat 1,2 juta luasan gambut di Sumsel. Data luasan gambut yang menyusut ini pun akan mengubah tatanan lingkungan di Sumsel.
"Fungsi gambut yang bernilai tinggi bagi lingkungan Sumsel, terkesan dihilangkan. Padahal esensi gambut sangat penting, terutama soaal ekosistem, keberlangsungan bioversity, daerah resapan, dan fungsi-fungsi ekologis lainnya," ujarnya.
Selain itu, naskah akademik pun tidak mewakili situasi tata ruang saat ini. Di Sumsel sendiri, sebanyak 7 kota dan kabupaten belum menyelesaikan Perda RTRW terbaru.
"Dengan demikian, RTRW tingkat provinsi ini tidak mencerminkan keberharuan atas situas tata ruang dan wilayah Sumsel saat ini, misalnya RTRW di Palembang. Karena itu, kami pertanyakan dasar atau pijakan pembahasan RTRW Sumsel ini," ucap Haris.
Di kota Palembang sendiri, data analisis Perkumpulan Lingkat Hijau pada tahun 2021 telah terjadi 207 pelanggaran tata ruang pada luasan 400 hektar (ha) yang memicu bencana banjir saat ini.