Harmonisasi Budaya Tionghoa dan Melayu di Semangkuk Pempek Palembang

Semangkuk pempek Palembang memperlihatkan harmonisasi dan akulturasi budaya Tionghoa dan Melayu di Palembang, Sumatera Selatan.

Tasmalinda
Selasa, 01 Februari 2022 | 09:10 WIB
Harmonisasi Budaya Tionghoa dan Melayu di Semangkuk Pempek Palembang
Pempek Palembang. Harmonisasi Budaya Tionghoa dan Melayu di Semangkuk Pempek Palembang [Facebook]

SuaraSumsel.id - Pempek Palembang bisa dikatakan mirip dengan bakso. Kudapan yang sama-sama merupakan campuran daging dan tepung dengan kadar perbandingan tertentu.

Perbedaannya, pempek Palembang berasal dari daging ikan segar. Daging ikan termasuk komoditi sangat mudah ditemui Sumatera Selatan terkhusus Palembang.

Dengan topografi dialiri sembilan sungai besar, Sumatera Selatan kaya akan spesies ikan, seperti ikan belida. Ikan-ikan sungai rawa ini kemudian yang menjadi bahan dasar membuat pempek tempo dulu.

Pempek pun menjadi komoditi yang diperdagangkan warga Tionghoa. Cerita sejarah ini mengaitkan asal mula kata pempek dengan masyarakat Tionghoa.

Baca Juga:Temukan 15 Kg Sabu, Anggota BNN Sumsel Sujud Syukur Teriak Allahu Akbar

Diceritakan jika dahulu ada seseorang lelaki (sudah berusia) Tionghoa yang berdagang makanan dengan cara berkeliling memikul makanan yang dijual.

Kala itu, salah satu makanan yang dijual ialah panganan berbentuk bulat yang berbahan dasar tepung dan daging ikan.

Disebutkan juga, kudapan ini dijajakan oleh pedagang keturunan Tionghoa di sekitaran masjid Agung yang merupakan jantung kota Palembang saat ini.

Para pembeli memanggil sang penjual keturunan Tionghoa tersebut dengan sebutan “Apek”.

Ilustrasi Pempek . (Dok. Pempek Ny. Kamto)
Ilustrasi Pempek . (Dok. Pempek Ny. Kamto)

Panggilan “Apek” yang kemudian jika dilafalkan berkali-kali, karena memanggil Apek berkali-kali menjadi “pek,pek.. Pek, pek,..Pek, pek, pem-pek”.

Baca Juga:Produktivitas Sawah di Sumsel Meningkat, Ini Penyebabnya

Cerita sejarah yang diyakini terjadi di abad 20, atau sekitar tahun 1910-an ini melengkapi ragam harmonisasi budaya Tionghoa di Palembang, Sumatera Selatan.

Fakta lainnya menguatkan, tanaman sagu yang menjadi tepung pembuat pempek adalah tanaman umum ditemui di Sumatera Selatan.

Di prasasti Talang Tuwo, ditemukan gambaran sebagaimana tanaman sagu menjadi bagian dari taman surga yang disebut Taman Sriksetra.

Prasasti ini merupakan instruksi raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa agar masyarakat menjaga alam dan lingkungan.Prasasti ini tertanggal 23 Maret 584 masehi mengungkapkan semoga yang ditanam di taman surga itu, seperti pohon kelapa, pinang, aren, sagu dan bermacam-macam pohon lainnya yang ditanam, buahnya dapat dimakan.

“Begitu pula bambu haur, waluh, pattum dan lainnya. Semoga juga tanaman-tanaman lainnya, serta bendungan dan kolam-kolam, dan semua amal yang saya berikan dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk dan bagi mereka menjadi jalan kebahagian,” isi prasasti Talang Tuwo yang menggambarkan perkembangan agama Budha Kerajaan Sriwijaya.

Selain tanaman sagu, juga disebutkan tanaman aren yang merupakan campuran untuk membuat cuka pempek. Gula aren ialah bahan dasar membuat kuah cuka yang kemudian dicampur dengan asam cuka dan cabai rawit memberikan rasa kuah yang pedas, asam, dan manis.

Sehingga muncul keyakinan, sebenarnya pempek sudah ada di masa kerajaan Sriwijaya, jika memaknai pempek secara harfiah adalah hidangan campuran daging ikan segar dan tepung yang juga dimakan dengan kuah gula aren yang pedas.

Meski saat itu (saat Kerajaan Sriwijaya), makanan tersebut belum dinamai pempek.

Pempek Palembang [Instagram]
Pempek Palembang [Instagram]

Asal Usul Masyarakat Tionghoa di Palembang

Sejarawan Palembang sekaligus Dosen UIN Raden Fatah Palembang, Kemas Ari Panji dalam bukunya berjudul Masyarakat Tionghoa dalam kajian sejarah 1823-1945 mengungkapkan, asal usul masyarakat Tionghoa di Palembang hampir sama dengan asal mula masyarakat Tionghoa di Nusantara.

Hal ini karena sudah adanya hubungan dagang, politik hingga migrasi penduduk. Kemas Ari Panji mengungkap ada empat penyebab migrasi penduduk Tionghoa yang salah satunya menuju ke Provinsi Bangka, dan Sumatera Selatan atau Sumatera bagian Selatan (Sumbagsel).

Empat penyebab migrasi penduduk Tionghoa tersebut di antaranya masyarakat Tionghoa Selatan tidak bersedia mengakui Pemerintahan Kubilai Khan dari Bangsa Mongol, Dinasti Manchu.

Penyebab kedua, terjadi kerusuhan ketika pemindahan kekuasaan Dinasti Ming ke Dinasti Manchu

Serta penyebab ketiga, akibat situasi ekonomi sulit di negara Cina, serta penyebab keempat terjadinya perang Candu, 1850-1860.

“Masyarakat Tionghoa di Palembang itu, berasal dari Provinsi Kwantung, Fukien, dan Kanton. Jika dari Provinsi Kwantung itu, ada suku bangsa Teo Chiu dan Hakka yang tinggal di daerah Pantai Selatan Cina, dan daerah pedalaman Swatow bagian timur. Sedangkan yang Fukien, adalah suku bangsa Hokkien, dan dari Provinsi Kanton adalah suku bangsa Kwong Fu yang tinggal sebelah barat dan selatan Provinsi Kwantung,” terang Ari.

Adapun gelombang kedatangan masyarakat Tionghoa tidak bersamaan. Sebelum tiba di Palembang atau Sumatera Selatan mereka tiba terlebih dahulu, berada di Provinsi Bangka Belitung melalui jalur laut.

Setibanya dengan menggunakan kapal-kapal besar, kemudian mereka bergerak memasuki muara sungai dengan kapal-kapal kecil dan sedang dan akhirnya tiba di daratan, yakni wilayah Sumsel bagian pesisir.

Di Pulau Bangka, kedatangan masyarakat Tionghoa sebagai pekerja tambang sedangkan di Sumsel, masyarakat Tionghoa sebagai pekerja di industri. 

Mulanya migrasi ini dominan ialah laki-laki yang kemudian menikahi perempuan-perempuan lokal. Pada abad 19, migrasi masyarakat Tionghoa juga dilakukan para perempuan.

Adanya kedatangan, pernikahan hingga hubungan dagang ini lah yang kemudian melahirkan akulturasi nan harmoni pada kuliner setempat, yakni warga Melayu.

Ilustrasi Pempek. (Dok: Pempek Ny. Kamto)
Ilustrasi Pempek. (Dok: Pempek Ny. Kamto)


Asal Mula Nama Pempek 

Budayawan Palembang, Vebri Al Lintani sempat mengoreksi narasi sejarah pempek yang berkembang.  Menurut ia, pempek yang sudah terdaftar menjadi Warisan Budaya Tak Benda atau WBTB milik kota Palembang sejak, 17 Oktober 2014 bisa dimaknai secara harfiah.

Secara harfiah, pempek adalah makanan berupa campuran tepung dan daging ikan. Masyarakat Palembang juga mengenal makanan berbahan daging dan tepung dengan nama kelesan.

Proses pembuatan kelesan ini menggunakan alat pipih dan berlubang sehingga bentuknya kemudian lebih mirip mi, yang jika direbus dan kemudian dipanggang adalah kerupuk keriting.

Menurut Vebri, pempek secara harfiah telah dimasak dan dikonsumsi oleh masyarakat Palembang, sebelum kemudian diperjualbelikan.

“Penyebabnya pempek banyak dikreasikan menjadi berbagai jenis ialah tradisi perempuan Palembang yang pintar masak. Di Palembang ada penekanan budaya, agar perempuannya pintar masak, sebagai persiapan menuju ke jenjang pernikahan,” terang Vebri.

Baru pada abad ke 20, disambung Vebri, muncul pedagang etnis Tionghoa yang belakangan diketahui lebih akrab dipanggil Apek. Semacam panggilan pada laki-laki dewasa warga Tionghoa menjadikan pempek sebagai komoditi dagangnya.

“Kejadiannya diperkirakan tahun 1916, nama kelesan ini lambat laun berubah. Masyarakat cenderung mengenal pempek dari nama pedagang ini, yang kemudian akrab didengar kata pempek,” ungkap Vebri.

Pempek udang di OPI Food Carnaval [Welly JT/Suara.com]
Pempek udang di OPI Food Carnaval [Welly JT/Suara.com]


Kreasi Pempek Makin Bermunculan

Kekinian, pempek tidak hanya sebagai hidangan sehari-hari, ataupun oleh-oleh dari kota Palembang, Sumatera Selatan dan sekitarnya.

Pempek telah menjadi identitas budaya Palembang yang menggambarkan harmonisasi akulturasi kehidupan masyarakatnya. Pempek kemudian lahir dalam berbagai varian yang disesuaikan dengan selera pasar. Misalnya pempek yang disantap dengan kuah sop, disebut tekwan dan model.

Pempek yang dimakan bersama dengan kuah santan pedas atau santan manis dinamai laksan, lakso dan celimpungan.

Sedangkan, pempek yang disajikan dalam ukuran besar juga disebut pempek kapal selam. Meski belum ditemukan catatan sejarah adanya kedatangan kapal-kapal selam di sungai-sungai di Sumsel.

Pempek kini pun ada dibuat pempek pelangi, karena warna pempek yang berwarna-warni. Pempek pelangi ini dibuat dengan warna merah, hijau, kuning dan lainnya karena dicampur dengan sari pewarna bersumber dari bahan makanan, seperti wortel, buah naga, bayam.

Pempek pelangi biasanya disajikan pada anak-anak agar makin gemar mengkonsumsi pempek yang kaya protein dan karbohidrat dengan campuran sari buah atau sayur.

Ada juga pempek klepon. Pempek yang berisikan cuka yang dibekukan. Pempek klepon dimaksudkan agar saat memakan pempek lebih praktis.

Memakan pempek biasanya membutuhkan wadah cuka, namun dengan memakan pempek klepon, maka bisa langsung menyantap pempek yang sudah berisikan cuka yang sedikit beku atau kental.

Pempek pun selalu hadir saat imlek di meja makan warga Tionghoa di Palembang, Sumatera Selatan.

Budayawan Tionghoa, Harun Awi atau lebih dikenal dengan Ko Awi mengungkapkan saat perayaan imlek, juga disajikan pempek. Menu pempek termasuk yang utama disajikan di meja makan, selain makan “wajib” imlek lainnya seperti kue keranjang hingga mi panjang umur.

Pempek disajikan bagi keluarga, sekaligus tamu yang datang berkunjung. Pempek pun dibagikan pada keluarga sebagai bentuk keberkahan dan persaudaraan.

“Di imlek pun disajikan pempek, pempek sudah menjadi makanan umum disajikan saat imlek. Dibagikan dan dikenal juga sebagai makanan saat perayaan hari-hari besar lainnya,” ungkap Ko Awi kepada Suara.com.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini