Tasmalinda
Senin, 29 September 2025 | 13:25 WIB
Analis Yunior Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, M. Dicky Kusnadi
Baca 10 detik
  • Analis Yunior DKSP BI, M. Dicky Kusnadi, menegaskan digitalisasi sistem pembayaran bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Melalui QRIS, UMKM terbukti mampu naik kelas, konsumen lebih mudah bertransaksi, dan ekonomi daerah terdorong lebih inklusif.

  • QRIS telah diadopsi lebih dari 35 juta merchant di Indonesia, termasuk 1 juta di Sumsel, dan mulai diperluas ke level internasional lewat kerja sama cross-border dengan Thailand, Malaysia, Singapura, hingga Jepang. Inovasi terbaru, QRIS Tap berbasis NFC, juga diuji coba pada moda transportasi publik.

  • BI menilai digitalisasi pembayaran mempercepat perputaran uang, memperkuat daya beli, sekaligus menyediakan data granular yang penting bagi kebijakan. Semua inisiatif ini diramu dalam BSPI 2030 untuk menopang visi Indonesia Emas 2045, dengan inklusi keuangan sebagai kata kunci.

SuaraSumsel.id - Di tengah pertemuan santai bersama awak media di Yogyakarta, Kamis (25/9/2025), Analis Yunior Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI), M. Dicky Kusnadi, mengurai kisah yang menggambarkan perubahan besar dalam cara masyarakat bertransaksi.

Bukan lagi sekadar soal pembayaran, tetapi tentang bagaimana digitalisasi sistem keuangan telah menjadi motor baru pertumbuhan ekonomi inklusif.

“Digitalisasi bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Melalui QRIS, kita melihat UMKM bisa naik kelas, konsumen lebih mudah bertransaksi, dan ekonomi daerah ikut terdorong,” ujar Dicky.

Dari Pedagang Bakso hingga Cross-Border Payment

Untuk menjelaskan dampak nyata QRIS, Dicky mengisahkan pengalaman seorang pedagang bakso di Balikpapan. Sebelum mengenal QRIS, omzet pedagang tersebut berkisar Rp2 juta per hari. Setelah menerima pembayaran lewat QRIS, omzetnya meningkat hingga Rp3 juta.

“Kemudahan transaksi membuat konsumen lebih nyaman, dan pedagang bisa melayani lebih cepat,” tuturnya.

Hingga 2025, jumlah merchant QRIS di Indonesia menembus 35 juta dengan volume transaksi yang terus meningkat pesat. Di Sumatera Selatan saja, lebih dari 1 juta merchant sudah terdaftar, meski sebagian besar masih terkonsentrasi di Palembang.

Tak berhenti di situ, BI juga memperluas cakupan QRIS ke tingkat internasional. Kolaborasi dengan Thailand, Malaysia, Singapura, hingga Jepang memungkinkan wisatawan bertransaksi dengan lebih praktis.

“QRIS cross-border ini membuka peluang besar, baik bagi pariwisata maupun UMKM. Bayangkan wisatawan asing bisa membayar sate atau kopi di Palembang dengan aplikasi dompet digital dari negaranya,” kata Dicky.

Baca Juga: Ekonomi Sumsel Tumbuh 5,42 Persen, QRIS Jadi Game Changer UMKM

Transformasi digital tidak berhenti pada QRIS reguler. BI kini mendorong inovasi QRIS Tap berbasis teknologi Near Field Communication (NFC). Fitur ini memungkinkan pengguna cukup menempelkan ponsel ke mesin pembaca, mirip kartu elektronik, dan transaksi langsung tercatat.

Sejak Maret 2025, QRIS Tap diuji coba pada moda transportasi publik. “Dengan QRIS Tap, pembayaran lebih cepat, efisien, dan minim kontak. Ini bisa jadi solusi bagi transportasi massal yang menuntut kecepatan,” jelas Dicky.

Integrasi ini tidak hanya meningkatkan kenyamanan, tetapi juga memperkuat ekosistem digital transportasi. Bagi kota seperti Palembang yang memiliki LRT, potensi adopsinya sangat besar.

Manfaat digitalisasi tidak berhenti pada sisi konsumen dan pedagang. Dari kacamata makroekonomi, BI menilai sistem pembayaran digital membawa efisiensi struktural. Transaksi real time mempercepat perputaran uang, memperbesar daya beli, dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).

Lebih jauh lagi, data granular yang terkumpul dari jutaan transaksi digital memberikan informasi berharga bagi perumusan kebijakan. Pemerintah bisa lebih tepat sasaran dalam menyalurkan subsidi, memetakan kebutuhan daerah, hingga membaca pola konsumsi masyarakat.

“Digitalisasi membuat ekonomi bergerak lebih cepat, sekaligus memberi kami insight baru untuk mendesain kebijakan yang responsif,” ujar Dicky.

Seluruh inisiatif ini menjadi bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030. Peta jalan itu dirancang untuk menopang transformasi menuju Indonesia Emas 2045, dengan lima pilar utama: penguatan infrastruktur, konsolidasi industri, inovasi berkelanjutan, inklusi, dan perlindungan konsumen.

Dicky menekankan, inklusi adalah kata kunci. “Digitalisasi tidak boleh berhenti di kota besar. Harus menjangkau desa, UMKM kecil, dan kelompok rentan. Karena pertumbuhan sejati adalah ketika semua lapisan masyarakat terlibat,” katanya.

Visi itu sejalan dengan arah pembangunan nasional. Jika sistem pembayaran digital terus diperluas, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi salah satu ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada dua dekade mendatang.

“Ekonomi digital adalah keniscayaan. QRIS hanyalah pintu masuknya. Yang lebih penting adalah bagaimana kita memastikan transformasi ini memberi manfaat bagi semua. Dari pedagang bakso di pinggir jalan hingga pelaku usaha besar, semuanya harus bisa merasakan,” ujarnya.

Suasana ruangan hening sejenak, sebelum tepuk tangan peserta media gathering pecah. Bukan hanya karena paparan penuh data, tetapi juga keyakinan bahwa arah transformasi ekonomi Indonesia memang sedang berada di jalur yang tepat.

Load More