- Gen Z mendorong pergeseran budaya belanja dari mal dan fast fashion menuju pasar loak dan thrift store.
- Ada tiga pilar utama dalam fenomena ini: melawan dampak lingkungan fast fashion, menemukan identitas gaya yang unik di tengah keseragaman algoritma media sosial, serta memanfaatkan TikTok sebagai medium
- Meski positif, tren ini juga memunculkan sisi gelap berupa gentrifikasi thrift oleh reseller.
SuaraSumsel.id - Di akhir pekan, mal-mal yang dulu menjadi kuil fashion bagi generasi sebelumnya, kini mendapat saingan berat dari pasar loak yang berdebu dan toko-toko thrift di gang sempit.
Sebuah pergeseran seismik sedang terjadi, dipimpin oleh Gen Z. Mereka dengan bangga memamerkan "harta karun" seharga dua puluh ribu rupiah di TikTok, sementara tren terbaru dari raksasa fast fashion.
Banyak yang salah kaprah menganggap fenomena ini hanya soal "mencari barang murah". Itu adalah pandangan yang sangat dangkal.
Ledakan tren thrifting adalah sebuah fenomena budaya yang kompleks yakni sebuah koktail dari kesadaran lingkungan, penolakan terhadap konformitas, dan krisis identitas di era digital.
Ini bukan lagi sekadar belanja. Thrifting telah menjadi sebuah protes sunyi.
Tiga Pilar Pemberontakan Gen Z Melalui Baju Bekas
1. Perlawanan Terhadap "Kiamat" Fashion
Gen Z adalah generasi yang paling sadar akan isu lingkungan. Mereka tumbuh dengan berita tentang perubahan iklim dan tumpukan sampah tekstil yang menggunung.
Fast fashion, dengan siklus produksi super cepat dan kualitas rendah, adalah musuh utamanya.
Baca Juga: BRI Bukakan Peluang Baru, Fashion Karya Anak Muda Bali Dikenal Lebih Luas
Membeli baju bekas adalah cara paling langsung untuk keluar dari siklus "beli-pakai-buang". Ini adalah tindakan nyata untuk mengurangi jejak karbon dan memberikan nyawa kedua pada pakaian yang masih layak pakai.
2. Pencarian "DNA" Gaya yang Otentik
Di dunia di mana algoritma Instagram dan TikTok mendikte tren yang seragam (micro-trends), semua orang berisiko terlihat sama. Fast fashion mempercepat keseragaman ini.
Thrifting adalah antitesisnya. Setiap item adalah unik, punya cerita, dan tidak bisa ditemukan di rak toko sebelah.
Memadupadankan item thrift adalah cara Gen Z untuk merakit identitas visual yang otentik, yang tidak bisa ditiru atau dibeli secara instan. Ini adalah pernyataan: "Gaya saya tidak bisa ditemukan di katalog."
3. "The TikTok Effect": Dari Hobi Niche Menjadi Estetika Global
Tag
Berita Terkait
-
BRI Bukakan Peluang Baru, Fashion Karya Anak Muda Bali Dikenal Lebih Luas
-
BRI Hadirkan Beauty, Fashion, and Fragrance Festival (BFF) 2025 untuk Perluas Akses Pasar
-
Adidas Samba: Dari Lapangan Hijau ke Puncak Tren Fashion, Kenapa Semua Orang Menggilainya?
-
6 Tren Fashion 2025 yang Bikin Penampilanmu Auto Stylish & Gak Ketinggalan Zaman
-
Rahasia Fashion Cewek Aktif Musim Ini: 10 Bra Tanpa Tali yang Bikin Gaya Makin Kece
Terpopuler
- Profil 3 Pelatih yang Dirumorkan Disodorkan ke PSSI sebagai Pengganti Kluivert
- 5 Pilihan Produk Viva untuk Menghilangkan Flek Hitam, Harga Rp20 Ribuan
- 5 Rekomendasi Mobil Sunroof Bekas 100 Jutaan, Elegan dan Paling Nyaman
- Warna Lipstik Apa yang Bagus untuk Usia 40-an? Ini 5 Rekomendasi Terbaik dan Elegan
- 5 Day Cream Mengandung Vitamin C agar Wajah Cerah Bebas Flek Hitam
Pilihan
-
4 HP Memori 512 GB Paling Murah, Cocok untuk Gamer dan Konten Kreator
-
3 Rekomendasi HP Infinix 1 Jutaan, Speknya Setara Rp3 Jutaan
-
5 HP Layar AMOLED Paling Murah, Selalu Terang di Bawah Terik Matahari mulai Rp1 Jutaan
-
Harga Emas Naik Setelah Berturut-turut Anjlok, Cek Detail Emas di Pegadaian Hari Ini
-
Cerita Danantara: Krakatau Steel Banyak Utang dan Tak Pernah Untung
Terkini
-
7 Bedak Padat dengan Coverage Tinggi, Bisa Nutupin Bekas Jerawat Tanpa Numpuk
-
Selisih Biayanya Bikin Kaget! Ini Perbandingan Mobil Listrik Bekas vs Mobil Bensin di 2025
-
Harga Bekas Wuling Air EV Ternyata Stabil di 2025, Masih Layak Dibeli?
-
Rezeki Kilat! 7 Link DANA Kaget Hari Ini Siap Diburu, Siapa Cepat Dia Dapat
-
Onadio Leonardo Ditangkap Polisi karena Narkoba, Fans Syok dan Tak Percaya