Tasmalinda
Sabtu, 13 September 2025 | 23:16 WIB
Ilustrasi thrifting (Freepik/marinaghanis98)
Baca 10 detik
  • Gen Z mendorong pergeseran budaya belanja dari mal dan fast fashion menuju pasar loak dan thrift store.
  • Ada tiga pilar utama dalam fenomena ini: melawan dampak lingkungan fast fashion, menemukan identitas gaya yang unik di tengah keseragaman algoritma media sosial, serta memanfaatkan TikTok sebagai medium
  • Meski positif, tren ini juga memunculkan sisi gelap berupa gentrifikasi thrift oleh reseller.
[batas-kesimpulan]

SuaraSumsel.id - Di akhir pekan, mal-mal yang dulu menjadi kuil fashion bagi generasi sebelumnya, kini mendapat saingan berat dari pasar loak yang berdebu dan toko-toko thrift di gang sempit.

Sebuah pergeseran seismik sedang terjadi, dipimpin oleh Gen Z. Mereka dengan bangga memamerkan "harta karun" seharga dua puluh ribu rupiah di TikTok, sementara tren terbaru dari raksasa fast fashion.

Banyak yang salah kaprah menganggap fenomena ini hanya soal "mencari barang murah". Itu adalah pandangan yang sangat dangkal.

Ledakan tren thrifting adalah sebuah fenomena budaya yang kompleks yakni sebuah koktail dari kesadaran lingkungan, penolakan terhadap konformitas, dan krisis identitas di era digital.

Ini bukan lagi sekadar belanja. Thrifting telah menjadi sebuah protes sunyi.

Thrifting alias belanja baju bekas di Pasar Senen. (Fajar/Suara.com)


Tiga Pilar Pemberontakan Gen Z Melalui Baju Bekas

1. Perlawanan Terhadap "Kiamat" Fashion

Gen Z adalah generasi yang paling sadar akan isu lingkungan. Mereka tumbuh dengan berita tentang perubahan iklim dan tumpukan sampah tekstil yang menggunung. 

Fast fashion, dengan siklus produksi super cepat dan kualitas rendah, adalah musuh utamanya.

Baca Juga: BRI Bukakan Peluang Baru, Fashion Karya Anak Muda Bali Dikenal Lebih Luas

Membeli baju bekas adalah cara paling langsung untuk keluar dari siklus "beli-pakai-buang". Ini adalah tindakan nyata untuk mengurangi jejak karbon dan memberikan nyawa kedua pada pakaian yang masih layak pakai.

2. Pencarian "DNA" Gaya yang Otentik

Di dunia di mana algoritma Instagram dan TikTok mendikte tren yang seragam (micro-trends), semua orang berisiko terlihat sama. Fast fashion mempercepat keseragaman ini.

Thrifting adalah antitesisnya. Setiap item adalah unik, punya cerita, dan tidak bisa ditemukan di rak toko sebelah.

Memadupadankan item thrift adalah cara Gen Z untuk merakit identitas visual yang otentik, yang tidak bisa ditiru atau dibeli secara instan. Ini adalah pernyataan: "Gaya saya tidak bisa ditemukan di katalog."

3. "The TikTok Effect": Dari Hobi Niche Menjadi Estetika Global

TikTok adalah katalisator yang mengubah thrifting menjadi sebuah estetika yang keren.

Konten seperti "Thrift Haul" (pamer hasil buruan), "Thrift Flip" (mengubah baju bekas menjadi sesuatu yang baru), dan video OOTD dengan barang thrifted telah menginspirasi jutaan orang.

Media sosial telah berhasil membingkai ulang citra baju bekas, dari yang dianggap "kotor" menjadi "keren", "vintage", dan penuh karakter.

Sepatu Thrift

Sisi Gelap yang Tak Terhindarkan

Tentu, popularitas ini membawa konsekuensi. Fenomena "gentrifikasi thrift" di mana para reseller memborong barang bagus dan menjualnya kembali dengan harga berkali-kali lipat menjadi isu baru.

Hal ini terkadang menyulitkan mereka yang benar-benar membutuhkan pakaian murah untuk bertahan hidup.

Pakaian Sebagai Pernyataan Sikap

Ledakan tren thrifting di akhir pekan adalah cerminan dari sebuah generasi yang lebih cerdas, lebih sadar, dan lebih kritis.

Bagi mereka, pakaian yang mereka kenakan bukan lagi sekadar penutup tubuh atau simbol status. Pakaian adalah pernyataan sikap tentang planet yang ingin mereka selamatkan, tentang industri yang ingin mereka ubah, dan tentang identitas unik yang ingin mereka perjuangkan.

Load More