Tasmalinda
Kamis, 04 September 2025 | 20:49 WIB
pengerajin jumputan binaan PT Bukit Asam

SuaraSumsel.id - Di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, pagi hari dimulai dengan suara yang khas seperti dentuman mesin tambang batu bara. Suara itu sudah menjadi semacam lagu latar bagi masyarakat sekitar, tanda kehidupan sekaligus napas industri.

Namun, jika berjalan lebih dalam ke gang-gang kecil, ada suara lain yang jauh lebih lembut yakni suara tangan-tangan yang mencelup kain, menyapu kuas, menjemur lembaran batik di bawah matahari.

Dua dunia yang berbeda yakni tambang dan kain, yang hidup berdampingan.

Satu mengandalkan perut bumi, satu lagi bersandar pada tangan manusia. Di antara keduanya, ada jembatan yang bernama PT Bukit Asam Tbk (PTBA), anggota Holding Industri Pertambangan Indonesia MIND ID, yang memilih menambang sesuatu yang lebih abadi yakni harapan.

Bayangan PETI 

Di setiap daerah tambang, selalu ada cerita kelam bernama Pertambangan Tanpa Izin (PETI). Mereka menambang dalam gelap, tanpa tata kelola, tanpa keselamatan, tanpa izin negara.

Bagi sebagian orang, PETI adalah jalan bertahan hidup. Namun bagi perusahaan seperti PTBA, PETI adalah luka atas cadangan batubara terkuras, lingkungan rusak, keselamatan terancam.

Berbeda dengan “sumur minyak rakyat” yang telah dilegalkan pemerintah untuk meningkatkan produksi nasional, batubara tidak bisa diperlakukan sama. Industri ini padat modal, padat teknologi, dan sangat berisiko. Tidak mungkin dikelola secara serampangan oleh perorangan.

Jalan keluar tentu bukan dengan melegalkan, melainkan menghadirkan alternatif ekonomi. Dan di situlah PTBA menancapkan pijakan yakni memberdayakan masyarakat melalui UMKM, kriya, dan pelestarian budaya.

Baca Juga: Bukit Asam Sosialisasikan MediaMIND 2025 di Palembang: Tampilkan Inovasi Berbasis Potensi Lokal

“Kami ingin mengubah persepsi bahwa kesejahteraan tidak hanya bisa dicapai lewat tambang. Ada jalan lain yang lebih ramah, lebih abadi—dengan menghidupkan kembali kriya, UMKM, dan ekonomi kreatif,” ujar Dedy Saptaria Rosa, Division Head of Sustainability PTBA belum lama ini.

batik kujur merupakan umkm binaan PT Bukit Asam

Tombak Kujur: Identitas dari Tanah Tanjung Enim

Mari masuk ke sebuah rumah kecil di Tanjung Enim. Seorang ibu sedang menorehkan lilin panas ke kain putih. Tangannya terlatih, gerakannya pelan namun pasti. Motif yang ia gambar adalah tombak Kujur yang merupakan senjata tradisional khas Muara Enim.

Motif ini bukan sekadar gambar. Ia adalah simbol keberanian, sekaligus identitas masyarakat. Berkat dukungan PTBA, motif Kujur kini telah dipatenkan, menjelma menjadi kebanggaan daerah.

Kelompok pengrajin batik Kujur pun lahir, yang seolah menjadi etalase budaya. Produksi batik ini berbasis rumah tangga, namun sudah memanfaatkan teknologi ramah lingkungan, di mana kertas bebas limbah, pewarna alami, hingga pengelolaan air yang tidak mencemari lingkungan.

Setiap lembar batik Kujur adalah narasi ialah tentang sejarah, tentang lingkungan, tentang masa depan yang ditulis bukan dengan batubara, melainkan dengan warna-warna di atas kain.

Menggeser Persepsi: Sejahtera Tak Harus Menambang

Bagi masyarakat sekitar tambang, mimpi yang paling umum adalah bekerja di perusahaan tambang. Namun PTBA mencoba menggeser paradigma itu.

Kesuksesan, kata Dedy, tidak selalu berarti masuk ke perut bumi. Ada jalan lain: menjadi perajin, pengusaha UMKM, atau pelaku ekonomi kreatif.

Melalui Rumah BUMN, showcase produk, dan pelatihan, PTBA menyiapkan panggung bagi masyarakat. Mereka yang semula hanya membuat batik di rumah, kini punya etalase digital. Mereka yang semula menjual kain di pasar kecil, kini bisa tampil di pameran nasional.

Perubahan ini pelan, tapi nyata. Anak-anak muda yang dulu bermimpi menjadi pekerja tambang, kini mulai melihat profesi lain dengan kebanggaan yang sama.

Tentu, semua ini belum sempurna. Tantangan terbesar masih ada di pemasaran. Produksi bisa dilakukan, kreativitas bisa lahir, tapi tanpa pasar, semua akan berhenti di gudang.

PTBA mencoba menjawab dengan memfasilitasi pelatihan digital, masuk ke marketplace, hingga menghubungkan perajin dengan jaringan BUMN lain. Namun jalan panjang masih menanti.

Devi Hermayani dan Jumputan Palembang

Sekitar 200 kilometer dari Tanjung Enim, di Palembang, seorang perempuan muda bernama Devi Hermayani menjalani perjuangannya sendiri.

Ia memulai usaha kain jumputan dengan modal hanya Rp2 juta. Saat itu, sebelum pandemi, ia hanya ingin mencoba. Usahanya kecil, hampir tak terlihat.

Namun ia percaya, jumputan Palembang tidak boleh hanya jadi warisan yang teronggok di lemari.

Pandemi datang, pasar sepi, modal nyaris habis. Namun Devi bertahan.

Ketika PTBA membuka program pendampingan UMKM, ia ikut serta. Dari sana, Devi belajar banyak hal bagaimana masuk ke pameran termasuk bagaimana menatap pasar yang lebih luas.

Kini, produk jumputannya sudah beberapa kali ikut dalam pameran lokal dan nasional.

“Kami mungkin jauh dari tambang, tapi tetap bisa merasakan dampaknya. Dukungan PTBA membuat kami percaya diri. Harapan saya, ada lebih banyak lagi pelatihan dan bantuan, agar usaha kecil seperti kami bisa naik kelas,” kata Devi.

Bagi Devi, tantangan itu nyata. “Kadang kami masih kesulitan menjual. Produk menumpuk. Tapi ketika ada pameran, semangat itu kembali. Karena di sana, kami melihat bahwa karya kami dihargai,” ujarnya.

Cerita Devi menunjukkan bahwa dampak PTBA tidak berhenti di ring I operasional. Bahkan masyarakat Palembang yang jauh dari lokasi tambang pun bisa ikut merasakan.

Cerita batik Kujur di Tanjung Enim dan jumputan Devi di Palembang hanyalah potret kecil dari upaya besar PTBA. Semua ini menunjukkan bahwa tambang bukan hanya soal menggali bumi, melainkan juga menumbuhkan kehidupan.

Batubara mungkin akan habis. Tetapi selama kain-kain itu masih dibuat, motif-motif itu masih ditorehkan, dan tangan-tangan itu masih bekerja, harapan tidak akan pernah padam.

PTBA menambang sesuatu yang jauh lebih berharga, tidak hanya batubara namun masa depan masyarakatnya.

Penambang Harapan

Di senja hari, ketika suara tambang mulai mereda, seorang ibu menjemur batik Kujur di halaman rumahnya. Sementara di Palembang, Devi menata jumputan di etalase kecilnya.

Dua perempuan di dua kota berbeda, dua cerita yang bertaut dalam satu benang merah: mereka adalah bagian dari harapan baru yang ditenun PTBA.

Batik Kujur dan jumputan Palembang adalah energi budaya yang tak pernah padam. Dan di sanalah PTBA berdir, sebagai penambang bukan hanya batu, melainkan juga harapan.

Load More