SuaraSumsel.id - Dalam beberapa tahun terakhir, dunia sneaker dihiasi dengan siluet-siluet lawas yang mendadak kembali mendominasi jalanan kota yakni Adidas Gazelle, SL 72, Puma Speedcat, hingga Onitsuka Tiger Mexico 66.
Di tengah kemajuan teknologi sepatu dan desain futuristik, mengapa justru sepatu dari masa lalu menjadi pilihan utama generasi kini?
Apakah ini semata tren estetik? Atau ada mekanisme psikologis mendalam yang mendorong kita untuk kembali ke bentuk-bentuk lama yang familiar?
1. Nostalgia: Terapi Psikologis yang Tak Disadari
Menurut para ahli psikologi budaya, nostalgia adalah bentuk perlindungan diri terhadap ketidakpastian zaman. Saat dunia terasa cepat berubah, penuh tekanan, dan informasi datang bertubi-tubi, manusia cenderung mencari kenyamanan dari masa lalu.
Sepatu retro—dengan bentuk, warna, dan material yang mengingatkan pada masa kecil atau era yang “lebih sederhana”—menjadi simbol stabilitas emosional. SL 72 mungkin tak sekadar sepatu lari vintage, tapi bisa jadi representasi kenangan tentang ayah yang dulu memakainya, atau suasana film lama yang hangat.
2. Estetika Lawas yang Relevan Lagi
Desain minimalis dan proporsional dari sepatu retro sangat cocok dengan tren gaya saat ini: normcore, Y2K, hingga old money look.
Sepatu seperti Gazelle dan Tokyo punya bentuk ramping yang mudah dipadukan dengan celana wide-leg, jeans pudar, atau jaket varsity.
Baca Juga: Perang Siluet Retro! Adidas Gazelle vs Onitsuka Tiger, Mana yang Lebih Hype?
Siluet ini tidak agresif, tidak mencolok, tetapi berbicara banyak tentang selera dan sikap. Dalam istilah psikologi sosial, gaya retro seringkali diasosiasikan dengan orang yang memiliki “low need for status signaling”—yakni mereka yang tak butuh validasi berlebihan tapi tahu apa yang mereka suka.
3. Efek “Bandwagon” dan Validasi Sosial
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar ledakan tren ini juga didorong oleh efek ikut-ikutan. Ketika selebritas seperti Bella Hadid, Jennie BLACKPINK, dan aktor Jepang Kenjiro Tsuda memakai sepatu retro, terjadi yang disebut sebagai “bandwagon effect”: orang cenderung menyukai sesuatu karena banyak orang menyukainya.
Di sinilah garis menjadi kabur: apakah kita membeli sepatu retro karena benar-benar suka, atau hanya karena takut ketinggalan tren?
4. Identitas dan Resistensi terhadap “Fast Fashion”
Menariknya, tren sepatu retro juga menyimpan bentuk resistensi terhadap industri fashion yang terlalu cepat dan konsumtif. Banyak yang kini mencari sepatu dengan desain abadi dan makna, bukan sekadar tampilan instan.
Tag
Berita Terkait
-
Perang Siluet Retro! Adidas Gazelle vs Onitsuka Tiger, Mana yang Lebih Hype?
-
5 Sepatu Adidas yang Cocok Dipadukan dengan Rok, Mulai dari Kasual hingga Feminin
-
5 Rekomendasi Sepatu Adidas yang Cocok Dipadukan dengan Celana Jeans
-
Biar Nggak Ketipu! Ini 5 Cara Cepat Bedakan Adidas Samba Original dan KW
-
Selamat Tinggal Samba? Ini Alasan Gen Z Beralih ke Adidas Campus 00s & Forum Low
Terpopuler
- Skincare Reza Gladys Dinyatakan Ilegal, Fitri Salhuteru Tampilkan Surat Keterangan Notifikasi BPOM
- Tanggal 18 Agustus 2025 Cuti Bersama atau Libur Nasional? Simak Aturan Resminya
- 3 Klub yang Dirumorkan Rekrut Thom Haye, Berlabuh Kemana?
- Pemain Liga Inggris Rp 5,21 Miliar Siap Bela Timnas Indonesia di SEA Games 2025
- Selamat Datang Jay Idzes! Klub Turin Buka Pintu untuk Kapten Timnas Indonesia
Pilihan
-
Satu Kota Dua Juara: Persib dan Satria Muda Siap Cetak Sejarah Baru
-
Onitsuka Tiger Buatan Jepang vs Indonesia: Apa Sih Bedanya? Ini Ulasannya
-
Fenomena Rohana dan Rojali Sampai Kuping Bos OJK
-
PSSI-nya Wales Raup Untung Rp648 Miliar Meski Prestasi Timnas Berantakan
-
Irak Mulai Panik, Ketar-ketir Lihat Perkembangan Timnas Indonesia
Terkini
-
Telkomsel Bagi-Bagi Ribuan Menit Nelpon! Surprise Deal Cuma Berlaku 5 Hari
-
City Car Matik Terasa Lemot? Begini Cara Sederhana Bikin Tarikan Bawahnya Lebih Galak
-
Trio Retro Adidas Bangkit Lagi! Ini Alasan Gazelle, SL 72, dan Tokyo Jadi Idola
-
Psikologi di Balik Tren Sepatu Retro: Nostalgia Tulen atau Cuma Gaya-Gayaan?
-
Kredit Usaha Rakyat Bank Sumsel Babel Tembus Rp557 Miliar, UMKM Sumsel Makin Bergeliat