Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Rabu, 11 Juni 2025 | 12:08 WIB
Warga Lebung Itam demo perusahaan sawit BHP

SuaraSumsel.id - Di tengah perjuangan menggugat perusahaan penyebab kabut asap, masyarakat Desa Lebung Itam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, kini dihadapkan dengan ancaman baru.

Perusahaan perkebunan sawit, PT Bintang Harapan Palma (BHP) telah membangun kanal drainase di wilayah yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat.

Konflik antara warga Desa Lebung Itam dengan PT BHP bukan hal baru.

Sejak 2018, warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Pengelola Rawang (FMPR) menolak rencana penguasaan lahan yang selama ini telah mereka kelola untuk berkebun karet dan usaha.

Baca Juga: Curhat ke Dedi Mulyadi Bikin Viral, Sumsel Bakal Gelar Retret Khusus Anak 14 Hari di Gandus

Ketegangan meningkat dalam beberapa bulan terakhir setelah PT BHP memulai pembangunan kanal selebar 8 meter dengan dalih sebagai sekat bakar.

Namun warga menduga kuat pembangunan itu justru bertujuan untuk mengeringkan lahan gambut demi kepentingan perkebunan sawit.

“Ini bukan sekat bakar, melainkan kanal drainase untuk mengeringkan gambut. Kalau dibiarkan, dampaknya bisa memicu kebakaran lagi,” ujar Ipan Widodo, kuasa hukum warga dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang.

PT BHP juga mengajukan permohonan hak guna usaha (HGU) kepada Badan Pertanahan Nasional, yang lantas ditindaklanjuti dengan kegiatan pengukuran tanah.

Warga yang merupakan koordinator Forum Masyarakat Pengelola Rawang pun beberapa kali dihubungi dan didatangi oleh tentara maupun personel kepolisian setempat.

Baca Juga: Fakta Menarik Kebiasaan Makan Daging Warga Sumsel, Idul Adha Jadi Puncaknya?

“Aparat Kodim (Komando Distrik Militer) mendatangi rumah koordinator FMPR pada pukul sembilan malam 8 Mei lalu. Aparat ini bertanya mengenai konflik FMPR dengan PT BHP. Personel tentara kembali datang sehari setelahnya membawa surat dan alur permohonan HGU. Teranyar, kami mendapatkan salinan surat perintah Komandan Kodim OKI yang menugasi sejumlah anak buahnya untuk mengawal pengukuran lahan PT BHP bersama tim BPN,” kata Ipan

Dalam salinan surat yang diterima LBH Palembang, diketahui bahwa Komandan Kodim OKI resmi menugaskan anak buahnya untuk mengawal pengukuran lahan BHP bersama BPN.

Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sumatera Selatan, Untung Saputra, menilai tindakan BPN yang tetap melakukan pengukuran lahan dalam situasi konflik merupakan pelanggaran serius.

“Ini pelanggaran prosedur. Selama masih ada konflik, semestinya tidak boleh ada pengukuran HGU. Apalagi dengan melibatkan aparat militer. Ini justru memperkeruh konflik dan membuat warga takut mempertahankan haknya,” tegasnya.

Lebih jauh, Untung menyebut konflik agraria semacam ini menjadi ironi ketika pemerintah pusat baru-baru ini bicara soal pemerataan akses tanah dan revisi HGU.

warga Lebung Itam demo PT BHP

Ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia terus terjadi, salah satunya akibat pemberian izin kepada korporasi tanpa menyelesaikan sengketa dengan masyarakat.

Dari sisi lingkungan, pembangunan kanal di lahan gambut berisiko menambah panjang daftar kerusakan ekosistem.

Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba, proses pengeringan gambut untuk perkebunan sawit merupakan sumber utama kebakaran hutan yang menyebabkan bencana asap tahunan di Sumatera dan Kalimantan.

“Jika pemerintah serius mencegah krisis iklim, hentikan penerbitan HGU untuk PT BHP. Lahan gambut yang masih tersisa harus dijaga, bukan diubah menjadi perkebunan sawit. Cukuplah kabut asap kemarin jadi pelajaran,” kata Belgis.

Konflik agraria di Lebung Itam semakin memperlihatkan bagaimana persoalan lingkungan dan hak atas tanah kerap berbenturan dengan kepentingan bisnis besar.

Perjuangan warga Desa Lebung Itam adalah potret nyata dari panjangnya jalan untuk mempertahankan hak hidup, tanah kelola, dan lingkungan yang lestari di tengah ekspansi industri perkebunan.

Kementerian Lingkungan Hidup (LH) dalam gugatan di pengadilan Negri kelas IA Palembang,  menuntut PT BHP untuk membayar ganti rugi sebesar Rp677 miliar lebih yang terdiri atas tiga komponen utama: biaya verifikasi, kerugian ekologis, dan kerugian ekonomi.

Adapun rincian gugatan KLHK sebagai berikut:
1. Biaya Verifikasi Sengketa Lingkungan Hidup sebesar Rp137.285.323
2. Kerugian Ekologis dengan total Rp472.246.185.034,50 yang mencakup berbagai aspek seperti:
- Penyimpanan air: Rp409.679.778.000,00
- Pengaturan tata air: Rp192.840.840,00
- Pengendalian erosi: Rp7.874.334.300,00
- Pembentuk tanah: Rp321.401.400,00
- Pendaur ulang unsur hara: Rp29.633.209.080,00
- Pengurai limbah: Rp2.796.192.180,00
- Keanekaragaman hayati: Rp17.355.675.600,00
- Sumber daya genetik: Rp2.635.491.480,00
- Pelepasan karbon (carbon release): Rp1.301.675.670,00
- Penurunan karbon (carbon reduction): Rp455.586.484,50
3. Kerugian ekonomi akibat penurunan nilai guna lahan dan hilangnya potensi hasil produksi pascakebakaran sebesar Rp205.371.843.480,10 .

Tak hanya menuntut ganti rugi, KLHK juga meminta majelis hakim menghukum PT BHP untuk melakukan pemulihan lingkungan di area terdampak.

Pemulihan ini mencakup rehabilitasi ekosistem dan langkah teknis lainnya guna mengembalikan fungsi ekologis lahan bekas terbakar.

Dalam beberapa tahun terakhir, PT BHP dinilai pemerintah lalai dalam menerapkan sistem pencegahan karhutla serta dugaan penggunaan metode pembukaan lahan yang tidak ramah lingkungan.

Persidangan kasus gugatan KLHK terhadap PT BHP ini masih akan berlanjut dengan agenda mendengarkan keterangan dari ahli lainnya.

Load More