SuaraSumsel.id - Dalam tiga tahun terakhir, masyarakat Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menunjukkan kecenderungan yang makin kuat terhadap konsumsi makanan dan minuman jadi.
Berdasarkan data dari Ringkasan Eksekutif Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Provinsi Sumatera Selatan 2022–2024, terjadi peningkatan signifikan baik dalam hal jumlah kalori yang dikonsumsi maupun besaran uang yang dikeluarkan untuk komoditas makanan-minuman jadi.
Kalori dan Pengeluaran Naik Terus
Pada tahun 2022, rata-rata konsumsi kalori masyarakat Sumatera Selatan yang berasal dari makanan dan minuman jadi tercatat sebesar 417,32 kilokalori per hari.
Kepala BPS Sumatera Selatan Wahyu Yulianto menerangkan angka ini terus mengalami peningkatan signifikan dalam dua tahun berikutnya: naik menjadi 431,08 kilokalori pada 2023, dan kembali melonjak menjadi 446,86 kilokalori per hari pada 2024.
Kenaikan ini bukan sekadar fluktuasi, tetapi menjadi indikasi kuat bahwa makanan dan minuman jadi—seperti makanan cepat saji, makanan kemasan, hingga makanan siap santap dari warung atau restoran—telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gaya hidup dan pola makan harian masyarakat.
"Dulu, makanan jadi mungkin hanya menjadi pilihan praktis saat sibuk atau bepergian. Kini, pola tersebut bergeser: makanan jadi semakin menempati porsi besar dalam konsumsi kalori harian warga Sumsel, mencerminkan transformasi gaya hidup yang lebih instan, cepat, dan praktis," ucapnya.
Perubahan ini sekaligus memberi sinyal penting bagi kebijakan pangan, kesehatan, dan pola konsumsi masyarakat ke depan.
Tak hanya dari sisi konsumsi kalori, pengeluaran masyarakat pun terus membengkak.
Baca Juga: Festival Bulan Juni di Palembang Hadir Lagi, Komunitas Suarakan Krisis Lingkungan
Rata-rata pengeluaran bulanan per kapita untuk makanan dan minuman jadi naik dari Rp168.855 (2022) menjadi Rp177.275 (2023) dan Rp184.112 (2024).
Lebih dari 25 Persen Belanja Makanan untuk Makanan Jadi
BPS mencatat bahwa pada 2024, porsi pengeluaran makanan dan minuman jadi mencapai 25,88 persen dari total pengeluaran makanan masyarakat.
Ini berarti lebih dari seperempat belanja makanan bulanan masyarakat digunakan untuk membeli makanan yang sudah siap saji atau siap konsumsi.
Sebagai perbandingan, pengeluaran untuk bahan makanan mentah masih mendominasi dengan 61,30 persen, sementara untuk rokok dan tembakau sebesar 12,82 persen.
Namun demikian, yang menarik adalah perbedaan perilaku antara penduduk kota dan desa.
Di kawasan perkotaan, persentase pengeluaran untuk makanan jadi mencapai 29,83 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk perdesaan yang hanya 23,13 persen.
Makin Kaya, Makin Sering Jajan
Tren lainnya yang terungkap dari data BPS adalah adanya korelasi antara tingkat pengeluaran dan preferensi terhadap makanan jadi.
Masyarakat yang berada pada kuintil pengeluaran tertinggi (kuintil V) mencatatkan konsumsi makanan dan minuman jadi sebesar 27,88 persen dari total pengeluaran makanan mereka.
Sementara itu, pada kelompok terbawah (kuintil I), angkanya hanya 22,41 persen.
Artinya, semakin tinggi daya beli seseorang, semakin besar pula kemungkinan mereka memilih kenyamanan dan kepraktisan makanan jadi dibanding memasak sendiri.
Dampak Sosial dan Gizi
Fenomena ini bisa dipandang dari dua sisi.
Di satu sisi, meningkatnya konsumsi makanan jadi mencerminkan perubahan gaya hidup masyarakat yang makin modern dan sibuk.
Di sisi lain, ini bisa memicu persoalan kesehatan jika tidak diimbangi dengan kesadaran gizi dan pola makan seimbang.
Pakar gizi kerap mengingatkan bahwa makanan jadi cenderung tinggi kalori, garam, gula, dan lemak, yang dalam jangka panjang bisa meningkatkan risiko obesitas, hipertensi, dan penyakit metabolik lainnya.
Perubahan pola konsumsi ini menjadi sinyal penting bagi pemerintah, pelaku industri makanan, dan masyarakat sendiri.
Diperlukan edukasi dan pengawasan terhadap kualitas makanan jadi yang beredar di pasaran, sekaligus peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi makanan sehat.
Jika tren ini terus meningkat tanpa kontrol, bukan tidak mungkin tantangan gizi buruk atau penyakit degeneratif akan meningkat di masa depan, meskipun kalori yang masuk ke tubuh sudah lebih dari cukup.
Berita Terkait
-
Festival Bulan Juni di Palembang Hadir Lagi, Komunitas Suarakan Krisis Lingkungan
-
Selamat Datang Sumsel United! Sriwijaya FC Tak Lagi Sendiri di Liga 2
-
Sumatera Selatan Resmi Punya Klub Liga 2 Baru! Sumsel United Satu Grup dengan Sriwijaya FC
-
Jamaah Haji Sumsel Mulai Bergerak ke Arafah, Simak Makna dan Persiapan Wukuf 2025
-
Cik Ujang: Dari Bupati hingga Wakil Gubernur, Kini Bangun Klub Sepak Bola Sumsel United
Terpopuler
- Tanpa Naturalisasi! Pemain Rp 2,1 Miliar Ini Siap Gantikan Posisi Ole Romeny di Ronde 4
- Akal Bulus Dibongkar KPK, Ridwan Kamil Catut Nama Pegawai Demi Samarkan Kepemilikan Kendaraan
- Lagi Jadi Omongan, Berapa Penghasilan Edi Sound Si Penemu Sound Horeg?
- Bocor! Timnas Indonesia Naturalisasi 3 Pemain Keturunan, Ada dari Luar Eropa
- Thijs Dallinga Keturunan Apa? Striker Bologna Mau Dinaturalisasi Timnas Indonesia untuk Ronde 4
Pilihan
-
4 Rekomendasi HP Murah Infinix dengan NFC, Fitur Lengkap Tak Bikin Dompet Jebol
-
Siap Taklukan Super League, Ini Daftar Lengkap Pemain Bhayangkara Presisi Lampung FC
-
Demi Juara, Pemain Timnas Indonesia U-23 Diminta Pakai Cara 'Keras' Lawan Vietnam
-
Harga Emas Antam Makin Merosot, Hari Ini Jadi Rp 1.906.000 per Gram
-
Mengenal Faskho Sengox, 'Mbah Buyut' Sound Horeg yang Melegenda Jauh Sebelum Edi Sound Viral
Terkini
-
Jadwal Lengkap Pemadaman Listrik Palembang Pekan Ini, Cek Wilayahmu Kena
-
Tragedi Bus Jemaah Umrah Terguling di Muba: 4 Tewas, 10 Luka, Ini Kronologi Lengkapnya
-
Hadirkan Pelatihan Ekspor 2025, Dukungan Nyata BRI pada Pelaku UMKM
-
Bukan Sekadar Gaya, Ini 5 Alasan Krusial Wajib Punya Sepatu Lari yang Nyaman
-
Bahaya Popok Berkandungan Parfum dan Tips Memilih Produk Ramah Kulit Bayi