SuaraSumsel.id - Dari pabrik-pabrik tekstil yang gulung tikar di Bandung hingga antrean panjang PHK massal, Jawa Barat kini merasakan dampak gejolak ekonomi global.
Dalam Dialog Kritis Mencari Solusi yang diselenggarakan oleh Suara.com dan Core Indonesia di El Hotel Bandung, Selasa (20/5), para ekonom, pelaku industri, dan pemangku kebijakan menyoroti ancaman dan peluang yang muncul, serta mendesak hadirnya solusi konkret dari level daerah hingga nasional
Digelar di Bandung menjadi saksi pertemuan antara pengusaha, ekonom, dan akademisi yang menyuarakan satu hal penting yakni ekonomi domestik kini harus menjadi benteng pertahanan terakhir.
Dalam dialog tersebut, terungkap bagaimana tarif tinggi dari Amerika Serikat telah menghantam keras sektor ekspor Indonesia, dengan Jawa Barat sebagai episentrum dampaknya.
Dari industri tekstil, alas kaki, hingga furnitur, tekanan datang bertubi-tubi—pesanan merosot, biaya membengkak, dan ancaman PHK massal menjadi kenyataan yang tak terhindarkan.
Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono dalam sambutannya mengatakan jika Bandung bukan dipilih secara kebetulan, melainkan karena kota ini adalah denyut nadi ekspor nasional, mulai dari tekstil, alas kaki, hingga furnitur—yang kini tengah terpukul hebat.
"Perlambatan ekonomi ini nyata," ujarnya.
Ia menambahkan, berdasarkan data BPS, pada Januari 2025 ekspor nonmigas Jawa Barat ke Amerika Serikat mencapai USD 499,53 juta atau 16,62% dari total ekspor nonmigas provinsi.
Sementara dari Bandung, ekspor ke AS pada Maret 2025 mencapai USD 7,7 juta.
Baca Juga: 5.537 Calhaj dari Embarkasi Palembang Sudah Berangkat, 3 Jamaah Wafat di Tanah Suci
Namun, Bandung juga menghadapi gelombang PHK massal, terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), akibat penurunan pesanan dan meningkatnya persaingan dengan produk impor.
Kebijakan tarif baru dari AS dikhawatirkan akan menekan permintaan ekspor lebih lanjut, sementara arus masuk produk impor semakin meningkat, sehingga industri dalam negeri berpotensi terpukul dua kali lipat.
Dalam sesi diskusi, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, Ph.D., mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi risiko serius akibat perang dagang AS-Tiongkok dengan data menunjukkan penurunan ekspor China ke AS hingga 10,5% pada 2025, sementara ekspor ke ASEAN meningkat hingga 19,1%.
Menurut perhitungan CORE, potensi impor ilegal dari Tiongkok mencapai 4,1 miliar USD dengan kerugian negara sekitar Rp 65,4 triliun, situasi yang diperburuk oleh perlambatan ekonomi global dan tekanan pada nilai tukar Rupiah.
Prof. Rina Indiastuti dari Universitas Padjadjaran memaparkan dampak kebijakan tarif AS terhadap industri Jawa Barat, terutama sektor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki yang telah mengalami tekanan signifikan hingga beberapa perusahaan mengalami kerugian, tutup, dan melakukan PHK.
Merespons hal tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, mengungkapkan bahwa pelaku usaha saat ini sedang menghadapi tekanan berlapis.
“Kami para pengusaha merasa resah, bukan hanya karena perang dagang AS–China, tapi juga berbagai hambatan lain. Mulai dari ketidakpastian usaha dan hukum, maraknya impor barang legal maupun ilegal, hingga regulasi yang saling tumpang tindih dan tidak sinkron,” ujar Ning.
Ia menjelaskan, bahwa proses perizinan pun sering tidak transparan. Janji izin usaha selesai dalam dua minggu sering kali meleset jadi berbulan-bulan karena harus melewati banyak meja.
Masalah tenaga kerja pun tak kalah pelik, dipolitisasi, sering terjadi aksi demo berkepanjangan, dan regulasi pengupahan yang rentan intervensi politis.
“Kami juga menghadapi pungutan liar dan premanisme yang marak dan dilakukan terang-terangan. Di sektor logistik, biaya-biaya tak resmi di tiap tikungan membuat usaha kami tidak kompetitif karena beban biaya yang tinggi,” kata Ning.
Ia menekankan bahwa dunia usaha membutuhkan perlindungan yang adil dan kebijakan yang konsisten.
“Kami butuh aturan main yang jelas. Jangan terus-terusan pelaku usaha lokal jadi korban eksperimen kebijakan,” tegasnya.
Meski demikian, Prof. Rina juga mengidentifikasi peluang melalui pergeseran rantai pasok global, seperti rencana relokasi pabrik otomotif ke Jawa Barat.
Berita Terkait
-
Mau Masuk SMA Favorit di Sumsel? Ini 6 Jalur Pendaftaran SPMB 2025
-
Bank Sumsel Babel Dukung GENCARKAN & Sultan Muda: Dorong Ekonomi Sumsel Melesat
-
Waspada Pinjol Ilegal, OJK Bekali Emak-emak Sumsel dengan Ilmu Keuangan Syariah
-
100.000 Sultan Muda Sumsel Disiapkan, Gerakan Literasi Keuangan Dimulai dari Palembang
-
Bank Sumsel Babel Gelar Developer Gathering: Teken Akad Kredit Massal
Terpopuler
- Breaking News! PSSI Resmi Umumkan Pelatih Timnas Indonesia
- 5 HP Murah RAM 8 GB Memori 256 GB untuk Mahasiswa, Cuma Rp1 Jutaan
- Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
- 5 Sunscreen Terbaik Mengandung Kolagen untuk Usia 50 Tahun ke Atas
- 8 Lipstik yang Bikin Wajah Cerah untuk Ibu Rumah Tangga Produktif
Pilihan
-
Vinfast Limo Green Sudah Bisa Dipesan di GJAW 2025, Ini Harganya
-
Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
Terkini
-
5 Cara Set Lipstik Biasa untuk Jadi Transferproof Pakai Bedak Tabur agar Tampilan Rapi
-
5 Mobil Bekas untuk Angkut Galon dan Gas bagi Pemilik Warung di Bawah Rp 40 Juta
-
7 Merek Sepatu Lokal Indie untuk Tampil Keren dan Anti Mainstream
-
5 Cara Pakai Lipstik untuk Mencegah Nempel di Gigi agar Tampilan Rapi dan Anti Malu
-
5 Kontribusi Strategis Bank Sumsel Babel dalam Memperkuat UMKM di Kabupaten PALI