SuaraSumsel.id - Sidang gugatan kasus kabut asap di PN Palembang dilanjutkan dengan menghadirkan 13 orang yang memberikan kesaksian krusial.
Para saksi, yang terdiri dari warga terdampak, ahli lingkungan, dan aktivis, mengungkap bagaimana kabut asap akibat kebakaran lahan gambut telah merenggut kualitas hidup mereka.
Gugatan yang diajukan oleh sebelas warga Sumatera Selatan ini menyoroti dugaan keterlibatan tiga perusahaan kayu—PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries yang berada di bawah naungan Grup Sinar Mas
Mat Arif, salah satu saksi fakta dalam sidang gugatan kasus kabut asap, mengungkap dampak nyata yang ia rasakan akibat bencana tersebut.
Baca Juga: Jadwal Buka Puasa Kota Palembang, Banyuasin, dan Ogan Ilir pada 20 Maret 2025
Menurutnya, kabut asap yang melanda Sumatera Selatan pada 2023 tidak hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga berdampak langsung pada pekerjaannya sebagai tukang konstruksi baja ringan.
“Pekerjaan yang seharusnya selesai dalam satu minggu terpaksa molor hingga tiga minggu karena jarak pandang terbatas dan kondisi udara yang tidak sehat,” ungkapnya di hadapan majelis hakim.
Akibat keterlambatan itu, ia mengalami kerugian finansial karena kehilangan waktu kerja dan tertundanya pembayaran upah.
Bersama para saksi, para penggugat turut hadir di ruang sidang dengan mengenakan masker bertempelkan stiker
“Belum Merdeka dari Asap”. Para penggugat dan saksi berbondong-bondong datang dari Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kota Palembang untuk mengawal jalannya persidangan kasus gugatan asap ini.
Baca Juga: Kilang Pertamina Plaju Bangun Dermaga untuk Konservasi Gajah Sumatera, Begini Manfaatnya
Dua belas saksi yang hadir merupakan warga yang senasib sepenanggungan dengan para penggugat. Mereka pun merasakan dampak kabut asap, termasuk mengalami kerugian ekonomi.
Dalam persidangan sebelumnya, pihak penggugat sudah membeberkan kerugian materil dan imateril–yang berangkat dari rasa sakit emosional serta hilangnya hak atas kesehatan dan udara bersih.
Saksi fakta lain yang dihadirkan dalam persidangan adalah Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data Strategist dari Greenpeace Indonesia, yang turut menjadi penggugat intervensi dalam perkara ini.
Dalam kesaksiannya, Sapta mengungkap fakta mencengangkan tentang kondisi ekosistem gambut di area konsesi tiga perusahaan tergugat.
Ia menjelaskan bahwa lokasi konsesi tersebut berada dalam Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (KHG SSSL), sebuah kawasan yang seharusnya tetap basah untuk mencegah kebakaran.
Namun, temuan Greenpeace menunjukkan adanya kanal-kanal drainase yang mengeringkan lahan gambut, membuat lanskap tersebut semakin rentan terhadap kebakaran berulang.
Selain itu, Sapta juga memaparkan luas area terbakar yang terjadi di dalam konsesi ketiga perusahaan, menyoroti bagaimana praktik pengelolaan yang buruk telah berkontribusi terhadap bencana kabut asap yang merugikan masyarakat luas.
Kesaksiannya menjadi salah satu kunci dalam mengungkap keterkaitan antara kebakaran lahan dan aktivitas perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut.
Dalam kurun 2001-2020, luas area terbakar di tiga konsesi korporasi itu mencapai 473 ribu hektare, atau setara 92 persen dari total areal terbakar di KHG SSSL.
Dari angka tersebut, sebanyak 46 persen di antaranya atau 217 ribu hektare terjadi dalam periode 2015-2020. Kebakaran berulang terjadi setidaknya di area seluas 175 ribu hektare.
Namun, ia urung bersaksi lantaran pihak kuasa hukum tergugat menolak kehadiran Sapta selaku saksi fakta, serta menyatakan akan meninggalkan ruang persidangan.
“Ada perdebatan tentang apakah saksi fakta dapat menyampaikan kesaksiannya atau tidak. Memang betul ada keberatan dari pihak tergugat, tetapi keputusan akhir sebenarnya ada pada majelis hakim. Hakim sebetulnya sudah menawarkan kepada saksi fakta untuk mengurungkan atau melanjutkan kesaksiannya. Hakim masih membuka ruang, tapi diinterupsi oleh kuasa hukum tergugat yang mengatakan akan walk out jika saksi melanjutkan kesaksiannya. Kami menilai tindakan kuasa hukum tergugat itu kurang patut dan kurang profesional, serta terkesan tak menghargai jalannya persidangan,” kata Caesar Aditya, perwakilan kuasa hukum penggugat.
Greenpeace Indonesia, selaku penggugat intervensi, mendesak majelis hakim untuk menjatuhkan putusan tegas terhadap tiga perusahaan tergugat.
Organisasi lingkungan ini menuntut agar perusahaan-perusahaan tersebut bertanggung jawab atas kerusakan yang telah terjadi dengan memulihkan lahan gambut yang rusak di dalam konsesi mereka.
Lebih dari sekadar perbaikan, Greenpeace juga meminta hakim untuk memastikan bahwa praktik destruktif seperti pengeringan gambut, kebakaran lahan, dan penyebaran kabut asap dari wilayah konsesi tidak akan terulang di masa depan.
Gugatan ini bukan hanya soal keadilan bagi korban kabut asap, tetapi juga upaya untuk mencegah bencana ekologis yang terus berulang akibat kelalaian dalam pengelolaan lingkungan.
“Kami mewakili kepentingan lingkungan hidup yang terdampak. Sebab, alih fungsi lahan dari hutan dan gambut menjadi kebun tanaman komersial tak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati dan cadangan karbon, tetapi juga berefek pada makin panasnya Bumi dan menambah parah dampak krisis iklim,” kata Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Perwakilan kuasa hukum penggugat, Fribertson Parulian Samosir menambahkan, ketiga perusahaan mesti bertanggung jawab secara mutlak atas terjadinya kabut asap akibat kebakaran di konsesi mereka.
Apalagi ketiga tergugat juga mencantumkan aspek memperhatikan lingkungan dalam dokumen visi korporasi.
“Dengan kejadian kabut asap karhutla ini, ketiga perusahaan mengingkari visi mereka sendiri. Maka dari itu kami meminta pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Kami berharap keterangan saksi dapat membantu hakim untuk melihat perkara ini dengan terang ihwal dampak kabut asap bagi penggugat,” kata Fribertson, kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Palembang.
Berita Terkait
-
Gubernur Herman Deru Buka Rakor Forkopimda Se-Sumsel
-
Gercep Antisipasi Arus Mudik Lebaran, Herman Deru Cek Jalur Tol Alternatif Palembang-Betung
-
Jejak Pendidikan Umi Hartati: Sarjana Ekonomi hingga Ketua Komisi yang Ditahan KPK
-
Dijerat OTT KPK, Ini Daftar Kekayaan Miliaran Umi Hartati yang Jadi Sorotan
-
Terjerat Kasus Suap, Ferlan Juliansyah Ternyata Punya Utang Fantastis Rp1,2 Miliar
Tag
Terpopuler
- Seharga Motor 125cc: Ini 5 Opsi Mobil Bekas yang Mewahnya Sekaliber Innova per Maret 2025
- Semurah Suzuki S-Presso tapi Mesin Setangguh Ertiga: Mobil Bekas SUV Ini Layak Dilirik
- Harga Setara Vespa Sprint, Performa Motor Listrik Ini Jauh Ungguli Xmax
- Jakarta Premium Outlets Resmi Dibuka, Jadi Destinasi Belanja Baru Jelang Lebaran
- Xiaomi Indonesia Rilis Redmi Pad SE 8.7, Tablet Murah Ukuran Mini Cocok untuk Pelajar
Pilihan
-
Asing "Mudik" Duluan, Gondol Uang Triliunan dari RI
-
Head to Head Patrick Kluivert vs Dragan Talajic, Duel Magis Tangan Eropa
-
Ngojol Pontang-panting, Grab Hanya Kasih BHR Mulai Rp50 Ribu ke Driver
-
5 Hero Fighter Gold Lane Terbaik di Mobile Legends, Andalan Maret 2025
-
Penyebab IHSG Sulit Menguat Hari Ini, Imbas Pengumuman Penting Danantara?
Terkini
-
Willie Salim Terancam 6 Tahun Penjara, Konten Rendang Berujung Laporan UU ITE
-
Pendidikan Willie Salim Disorot! Lulusan SMA, Kini Dipolisikan Gegara Konten Rendang
-
Buntut Panjang Konten Rendang: Ramai-ramai Warga Palembang Polisikan Willie Salim
-
Gubernur Sumsel Marah Besar: Saya Tidak Rela Nama Palembang Dirusak karena Konten Daging Sepanci
-
Solusi Pembelanjaan dan Mudik Lebaran Bebas Ribet, Cukup Bayar Pakai BRIZZI dari BRI