Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Minggu, 23 Juni 2024 | 15:25 WIB
Kedai kopi di Palembang menggunakan tenaga listrik panel surya

SuaraSumsel.id - Terik matahari kian meninggi, siang itu. Tepatnya, 4 Juni 2024 lalu, hampir sebagian besar warga Pulau Sumatera mengeluhkan pemadaman listrik serentak dan bergantian secara luas atau dikenal blackout.

Sebagai penyumbang mineral batu bara yang merupakan bahan baku perusahaan listrik negara, PT PLN Persero, Pulau ini malah gelap dan gulita meski di siang hari.

Situasi ini pun membuat publik akhirnya mengevaluasi kinerja perusahaan yang diberikan kewenangan penuh dalam menyalurkan listrik saat ini.

PT PLN mengungkapkan penyebab terjadinya blackout karena adanya kerusakan di Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTT) yang berada di Lubuklinggau-Lahat dengan kapasitas 275 KV. 

Baca Juga: Berikut 7 Tradisi Hari Raya Kurban di Sumatera Selatan

Dampak pemadaman yang meski terjadi di siang hari, meluas tidak hanya di Sumatera Selatan (Sumsel), Jambi, Bengkulu dan Lampung mengalami gangguan.

PLN merilis dampak blackout dirasakan 2,6 juta pelanggannya pada saat itu. Tidak hanya masyarakat pemukiman, perkantoran, swasta, industri baik kecil dan menengah pun terdampak.

Kamar Dagang Industri (Kadin) Sumsel memprakirakan pemadaman yang berlangsung dalam kurun waktu lebih dari 12 jam itu telah menyebabkan kerugian mencapai Rp2 triliun dari sisi industri.

Perhitungan tersebut dirasa cukup realistis mengingat waktu pemadaman yang tidak sewajarnya.

Tidak hanya sektor industri, pelayanan terhadap publik seperti halnya rumah sakit, perkantoran pemerintah juga sarana transportasi publik yang bersumber dari listrik PLN juga terpengaruh.

Baca Juga: Adu Pendidikan Bakal Calon Gubernur Sumatera Selatan: Ada yang Kuliah Lagi

Penumpang LRT Sumsel pun mengalami gangguan perjalanan. Penumpang meski dilakukan evakuasi sehingga harus melanjutkan perjalanan dengan moda transportasi lainnya.

Saat itu pula, sejumlah mal dan restoran tempat saji di Palembang menjadi serbuan dari warga Palembang. Tidak hanya menikmati aktivitas pembelanjaan di mal, pengunjung pun membludak mencari lokasi pengisian listrik yang secara gratis disediakan oleh pihak mal.

Malah, di restoran makanan cepat saji, satu keluarga yang merupakan warga Palembang sengaja mencari tempat mengerjakan tugas sekolah anaknya, dengan mengisi daya ponsel pintarnya, laptop, dan sejumlah alat permainan.

“Susah ya, listrik padam. Mau pakai genset pun harus cari solar, jadi pilih ke mal,” aku Rani, ibu rumah tangga bersama dengan dua anak yang masih sekolah dasar yang juga merupakan warga terdampak blackout Pulau Sumatera.

Rani membenarkan listrik sudah menjadi kebutuhan dasar bagi keluarga kecilnya. Apalagi, banyak perangkat di rumahnya bersumber energi listrik. 

“Ada genset di rumah, tapi saya tak yakin soal solarnya, jadi tunggu suami pulang. Listrik padam lama bikin pusing, bikin biaya tambahan. Mana anak-anak sudah terbiasa pakai alat elektronik seharian, seperti pendingin ruangan,” ucapnya mengeluhkan betapa penting listrik bagi keluarganya.

Menurut ia, energi menjadi kebutuhan sangat mutlak. Karena diakui pekerja swasta ini, listrik mempengaruhi layanan publik lainnya, seperti PDAM dan jaringan internet di rumahnya.

“Tadi sudah baca pengumuman PDAM juga bakal padam, tentu perlu membeli kebutuhan air lagi dan juga wifi yang biasa dipergunakan untuk mengerjakan tugas anak atau kantor,” akunya lirih.

Ia pun menyadari membutuhkan sumber energi alternatif lainnya guna mengantisipasi peristiwa blackout listrik PLN seperti saat itu. 

“Tapi informasi mengenai energi lain saya tidak tahu banyak, apalagi soal energi baru terbarukan itu. Setahu saya PLTS, tenaga surya. Hidup di perkotaan, PLTS bisa jadi listrik substitusi atau pilihan, meski katanya harganya mahal,” ucapnya.

Saat Rani masih berjibaku bersama keluarga kecilnya mencari sumber energi listrik di mal menjelang sore, sementara Reza Fahda punya pengalaman sebaliknya.

Coffee Roaster di Kedai Hutan Kita malah tidak merasakan dampak sedikitpun dari blackout Pulau Sumatera.

Sama-sama berada di kota Palembang, Kedai Hutan Kita telah menggunakan PLTS, yang didambakan Rani.

Situasi yang mana tidak terpengaruh atas kinerja listrik yang berasal dari batu bara yang menjadi penyumbang pemanasan global bumi. 

Meski pas juga menyebutkan Sumsel sebagai lumbung energi, karena selain pasokan batu bara yang besar, potensi energi lainnya cukup besar termasuk PLTS.

Dinas ESDM mengungkapkan Sumsel memiliki potensi energi yang berasal dari energi surya mencapai 17.233 MWp namun baru terpasang 7,75 MWp. Kapasitas terpasang tersebut disumbang dari PLTS IPP, PLTS Rooftop, PLTS Terpusat dan PLTS Untuk Irigasi Sawah. 

PLTS IPP berkapasitas 2 MWp, PLTS rooftop (atap) berkapasitas 2,80 MWP, lalu PLTS terpusat berada di 2,91 MWp, dan PLTS untuk irigasi sawah o,o4 MWp.

Reja tengah memperlihatkan sistem kerja PLTS

Reja pun mengakui jika sudah melapor ke Dinas ESDM atas penggunaan PLTS atap dinikmatinya. 

Setahun menggunakan PLTS atap, ia mengaku mendapatkan keuntungan nan dirasa cukup besar bagi unit usaha yang dikelola oleh lembaga NGO tersebut.

Diceritakan ia, sebelum menggunakan PLTS ia mengeluarkan biaya Rp 1 juta perbulan untuk pengeluaran listrik di kedai yang dikenal memasarkan produk kopi Sumsel asal Pagar Alam dan Semendo ini. “Karena kapasitas dibutuhkan cukup besar untuk mesin kopi (cappuccino), mesin roasting, lemari pendingin, lampu penerangan ruangan. 

“Dengan daya 4.400 watt, sebelum pakai PLTS rata-rata di angka Rp 1 juta, tapi setelah dilengkapi dengan PLTS pengeluarannya menurun Rp500 ribu,” ujarnya menceritakan pengalamannya menggunakan PLTS atap dengan kapasitas 2000 watt.

PLTS yang digunakannya akan mulai maksimal bekerja sejak adanya sinar matahari, sekitar pukul 6 pagi. Lokasi kedai yang hamparan ruang yang lebar memungkinkan menyerap energi cukup maksimal. “Meski saat hujan, PLTS sebenarnya masih bisa bekerja. Karena bukan hanya sinar, namun juga sinar UV juga bisa diserap menjadi energi,” ucapnya.

Saat PLN alami blackout, ia mengaku tidak mengalami hambatan dalam industri pengolahan kedai kopi tersebut. Saat itu, siang hari ia bisa mengandalkan sinar matahari, karena saat Sumsel alami blackout, cuaca cukup terik.

“Kelebihan listriknya juga bisa disalurkan ke kantor HaKI saat listrik padam blackout, artinya aktivitas kantor masih bisa dilakukan terutama untuk Wifi,” ujarnya.

Komponen PLTS yang dimiliki melalui program kerjasama program Energi Bersama Ford Foundation terdiri dari panel surya atap, invelter, panel kontrol, dan unit baterai. 

Reja yang merupakan perintis bisnis ini mencoba membandingkan penggunakan PLTS, listrik PLN ataupun genset saat listrik padam. 

Dia menghitung, jika bisa pembelian unit PLTS bisa berbiaya sekitar Rp60 juta. Sementara di kedainya ia menghabiskan Rp1 juta perbulan dan setahun bisa Rp12 juta diserahkan kepada PLN sebagai tagihan menggunakan listrik asal dari batu bara.

“Dalam 5 tahun ia bisa membeli PLTS. Namun jika berhemat di awal membeli PLTS sebagai aset usaha maka ia bisa menghemat 50 persen pengeluaran listrik. Apalagi listriknya lebih konstan dibandingkan genset saat listrik padam. Kestabilan listrik saat diperlukan menjaga ketahanan alat dalam operasional kedai kopi seperti ini,” ucapnya.

Meski diakuinya, PLTS memang butuh dukungan sumber energi lainnya dalam penggunaannya. 

“Untuk PLTS dengan menyala dari pagi sampai sore, memang menghasilkan energi listrik yang bisa diandalkan seperti halnya PLN di saat situasi optimal, seperti sinar matahari maksimal. Namun saat malam, sangat mengandalkan kapasitas baterai. PLTS nya berkapasitas produksi 2000 watt hanya akan bertahan 3 jam maksimal. Jika ingin produksi lebih besar, tentu menambah unit PLTS nya,” ujar Reja sembari menegaskan jika PLTS yang dipakai atas inisiatif swadaya oleh warga, memang butuh dukungan Pemerintah.

Ilustrasi listrik PLTS di IKN. [Ist]


Pemerintah Permudah PLTS

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menerbitkan Kuota Pengembangan Sistem PLTS Atap PLN Tahun 2024-2028.

Penetapan melalui SK Dirjen Ketenagalistrikan Nomor 279.K/TL.03/DJL.2/2024 dengan pembagian kuota PLTS atap berdasarkan sistem tenaga listrik. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi kebijakan tersebut.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan ketentuan pembagian kuota PLTS atap pada tingkat subsistem/cluster sistem tenaga listrik tersebut akan memberikan kejelasan bagi konsumen dan juga kepastian investasi bagi para pelaku usaha PLTS atap.

IESR juga menyoroti bahwa pembagian kuota masih pada sistem kelistrikan dan belum dilakukan pembagiannya sesuai clustering/sub-sistem seperti yang diatur di pasal 9 ayat 3 Permen ESDM No. 2/2024.

"Walaupun sebagaimana ketentuan Permen, clustering tersebut merupakan tugas pemegang Izin Usaha Pemegang Tenaga Listrik (IUPTL)," ucapnya.

Total kuota PLTS atap di sebelas sistem tenaga listrik 2024-2028 adalah 5.746 MW dengan rincian kuota sebesar 901 MW pada 2024, 1.004 MW pada 2025, 1.065 MW pada 2026, 1.183 MW pada 2027, dan 1.593 MW pada 2028.

Mengingat dengan ketiadaan mekanisme net-metering, PLTS atap akan lebih banyak dilakukan untuk pelanggan komersial dan industri (Commercial and Industry, C&I).

“Pembagian per sub-sistem  memberikan informasi yang lebih transparan bagi konsumen untuk membaca peluang mereka mengajukan permohonan pemasangan PLTS atap. Oleh karenanya Dirjen Ketenagalistrikan harus memastikan PT PLN segera menyampaikan pembagian per cluster sebelum bulan Juli saat masa permohonan dimulai,” ungkap Fabby.

IESR mendorong Kementerian ESDM secara aktif mensosialisasikan Permen PLTS atap dan pembagian kuota PLTS atap kepada konsumen dan mekanismenya. Pemerintah juga harus proaktif mengingatkan pemegang IUPTL lainnya untuk segera menyampaikan kuota kapasitas sebelum Juli.

Kuota PLTS atap yang baru dikeluarkan untuk PLN masih belum sesuai dengan target Program Strategis Nasional PLTS Atap Nasional sebesar 3,6 GW yang ditetapkan pada 2021 oleh Permenko Perekonomian No. 7/2021.

Tidak hanya itu, Pemerintah perlu pula mencermati minat pelanggan dalam adopsi PLTS atap sehingga dapat meningkatkan kuota PLTS atap di 2025, sebagai upaya mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di 2025.

Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR Marlistya Citraningrum menambahkan minat dari pelanggan industri untuk menggunakan PLTS atap termasuk tinggi dan ditujukan untuk pengurangan biaya energi serta memastikan proses manufaktur berkelanjutan (sustainable) sehingga peniadaan net-metering tidak terlalu berdampak.

"Yang perlu dijelaskan juga adalah prosedur bila terjadi oversubscribe (permintaan melebihi kuota yang ditetapkan) pada cluster sistem tertentu. Minat dari pelanggan residensial kemungkinan turun karena tingkat keekonomian yang berubah, namun dengan semakin meluasnya informasi dan keinginan untuk menghemat biaya listrik - bisa jadi permintaan penggunaan juga akan tumbuh,” katanya.

Marlistya menyebut penetapan kuota PLTS atap ini juga dapat menjadi peluang bagi lembaga keuangan untuk menyokong skema pembiayaan yang menarik.

"Jika sebelumnya ceruk pasar tidak terlalu terlihat karena tidak adanya kuota, sekarang lembaga pembiayaan memiliki informasi tambahan untuk bisa melakukan asesmen komprehensif guna mengeluarkan produk pembiayaan hijau," ucapnya.

Load More