2. Membuka diri terhadap turis
Banyak orang mengira kehidupan Masyarakat Adat sangat tertutup dari dunia luar.
Mina menjelaskan, saat ini hanya sebagian kecil saja yang mengisolasi diri seperti itu. Misalnya, Baduy Dalam dan Orang Rimba. Sebagian besar anggota Masyarakat Adat sudah berbaur dengan dunia luar.
Akibatnya, kehidupan mereka juga dipengaruhi oleh dunia luar, termasuk dalam berpakaian.
Baca Juga: Nelayan Sumsel Diminta Waspada saat Melaut, Cuaca Memburuk
“Masyarakat Adat merupakan masyarakat yang dinamis, sangat senang kedatangan orang dari luar komunitas. Pada dasarnya, mereka punya rasa ingin tahu yang tinggi. Yang jadi persoalan justru para tamu. Tidak semua turis bisa menghargai kebudayaan dan lingkungan,” kata Mina.
Satya bercerita, seorang teman yang ia ajak ke Kampung Adat Waerebo, Nusa Tenggara Timur, mengenakan dress super mini.
“Seharusnya turis belajar tentang cara bertutur dan berperilaku, jika ingin mengunjungi kampung adat. Memang belum ada panduan tertulisnya, tapi kita bisa gunakan common sense, paling tidak memakai baju yang sopan,” kata Satya, yang selalu membawa sarung ketika bertandang ke kampung adat.
Ia mengajak masyarakat modern menjadijadi turis yang bertanggung jawab, sekaligus turis yang manusiawi.
"Jangan hanya datang untuk foto-foto. Ajaklah mereka berinteraksi. Kalau mereka belum bisa berbahasa Indonesia atau kita tidak bisa berbahasa mereka, saya biasanya menggunakan bahasa tubuh. Mari tinggalkan jejak yang baik,” kata Satya, merasa prihatin dengan turis yang hanya sibuk selfie.
Baca Juga: Pupuk NPK Mutiara Palsu Beredar di Sumsel, Polisi Sita 700 Sak
3. Anak muda memanggil anak muda
Satya bercerita soal generasi muda Baduy Dalam yang semakin ingin keluar dari komunitas karena melihat anak-anak muda Baduy Luar punya ponsel
“Bagi mereka, itu merupakan barang yang mewah, karena mereka belum pernah memilikinya. Padahal, ketika mereka sudah keluar, mereka tidak boleh masuk lagi. Ini bahaya untuk kelangsungan hidup masyarakat Baduy Dalam,” cerita Satya.
Demi keberlanjutan hidup Masyarakat Adat inilah kemudian muncul Gerakan Pulang Kampung yang digagas Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN).
Dengan gerakan ini anak muda memanggil sejawatnya, yang bersekolah dan bekerja di kota untuk pulang dan mengurus kampung.
“Mereka mampu berkarya dan mendatangkan penghasilan. Misalnya, anak-anak muda Minahasa, berkebun, menanam cabai dan tomat, dua bahan pangan segar yang selalu dicari oleh penduduk sana. Sekali panen keuntungannya bisa mencapai Rp150 juta. Penghasilannya jauh lebih besar daripada bekerja di kota,” kata Mina.
Berita Terkait
-
Tak Semua Sayuran Baik untuk Pasien Diabetes, Pilih 5 Sayuran Ini!
-
Masyarakat Adat Malamoi Dukung Bupati Sorong Cabut Izin 4 Perusahaan Kelapa Sawit
-
Begini Cara Masyarakat Adat Bertahan Hidup Melawan Covid-19 dan Gempuran Investor
-
Persempit Ruang Gerak, Ini Cara Facebook Perangi Konten Radikal atau Terorisme
Terpopuler
- Jay Idzes Akhirnya Pamerkan Jersey Biru Bergaris!
- Dear Erick Thohir! Striker Pencetak 29 Gol Keturunan Kota Petir Ini Layak Dinaturalisasi
- Kontroversi Bojan Hodak di Kroasia, Sebut Persib Bandung Hanya Tim Papan Bawah
- Jelang Lawan Timnas Indonesia, Pemain China Emosi: Saya Lihat Itu dari Kamar Hotel
- 7 Rekomendasi Mobil Murah dengan Sunroof, Harga mulai Rp 80 Jutaan
Pilihan
-
Mimpi Timnas Indonesia Terkubur! Gagal ke Piala Dunia 2026 Tanpa Playoff usai Australia Hajar Jepang
-
Bahlil Cabut Sementara IUP Tambang Nikel Anak Usaha Antam di Raja Ampat
-
Suporter Berlarian di GBK Jelang Timnas Indonesia vs China, Ada Apa?
-
3 Rekomendasi Moisturizer untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Kulit Kering Keriput Jadi Halus Lagi!
-
Penyerang Keturunan Ketahuan Jalan Bareng Cewek Jelang Timnas Indonesia vs China
Terkini
-
Mau Beli Rumah, Ini Panduan Lengkap Lolos Pengajuan KPR Tanpa Ribet!
-
KPR Syariah vs KPR Konvensional, Mana yang Lebih Menguntungkan dan Sesuai Syariat?
-
5 Game Seru Terbaru Juni 2025 yang Wajib Dicoba
-
Bocoran Xiaomi 16 Jelang Peluncuran, Baterai Super Besar
-
Doa Mustajab Kurban Agar Ibadah Idul Adha Berkah dan Dicintai Allah