Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Senin, 08 Maret 2021 | 07:58 WIB
Ilustrasi peringatan Hari Perempuan Internasional (HPI) atau International Women’s Day (IWD) [Suara.com/Erick Tanjung] Catatan HPI 2021: Dampak Ganda Pandemi Covid 19 pada Perempuan

SuaraSumsel.id - Tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional (HPI). Namun peringatan HPI tahun ini tentu berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. 

Pandemi covid 19 telah memperburuk situasi kehidupan yang berdampak ganda terutama terjadinya kekerasan perempuan dan anak.

Jaringan One Billion Rising Indonesia mencatat terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak selama pandemi ini.

Survey daring Rakyat Bantu Rakyat (KOBAR) Jateng memaparkan sekitar 65% buruh perempuan menghadapi konsekuensi buruk dari pandemi ini yang mempengaruhi langsung ke penghasilan, seperti mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), di rumahkan tanpa dibayar atau dirumahkan dengan upah yang dipotong.

Baca Juga: Sebut KLB Bodong, DPD Partai Demokrat Sumsel Sepakat Dukung AHY

Saat situasi pandemi, Pemerintah justru mendorong Omnibus Law di saat situasi PHK tengah dilakukan perusahaan karena alasan efesiensi.

Ilustrasi PHK karyawan. (Shutterstock)

Saat situasi itu juga, BPJS Ketenagakerjaan mencairkan banyak klaim buruh yang kehilangan pekerjaan. Meski perusahaan mendapatkan bantuan dari Pemerintah, namun PHK masih terus terjadi.

“Bagi buruh yang masih bekerja, terdapat banyak penyesuaian terkait upah. Buruh perempuan terpaksa terus bekerja dengan situasi upah yang diterima tidak sesuai dengan UMK, lembur yang tidak dibayar dan status sebagai buruh harian,” ujar Narahubung aksi virtual Jaringan One Billion Rising Indonesia, Zubaidah dalam keterangan persnya, Minggu (8/3/2021).

Situasi yang lebih rentan dialami oleh para buruh yang bekerja di perkebunan.

Buruh kebun seperti kebun sawit masih tidak mendapatkan jaminan perlindungan dalam bekerja, sehingga ketika terjadi kecelakaan kerja, itu menjadi tanggung jawab atau resiko dari buruh kebun itu sendiri.

Baca Juga: Dihadiri Para Mantan Kader, DPD Partai Demokrat Sumsel Tolak KLB

Harga input pertanian semakin mahal di tengah harga jual komoditas pertanian yang semakin rendah di kaum tani pedesaan. Sedangkan, di pasar perkotaan harga komoditas pertanian selalu terasa mahal.

Meskipun di pedesaan masyarakat cenderung masih bisa berkegiatan seperti biasanya, namun PHK di perkotaan telah membawa semakin banyak orang berpulang ke desa dan tetap tidak bisa bekerja karena lapangan pekerjaan juga tidak tersedia.  

“Produk-produk hutan dan pangan yang dikelola oleh rakyat tidak mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah. Belum ada perlindungan kepastian pasar atas hasil dari hutan dan pertanian pangan rakyat. Tidak dibangun infrastruktur ekonomi yang akan semakin memajukan sektor ini,” sambungnya.

Layaknya sawit, produk hasil dari hutan dan pertanian pangan rakyat juga harus mendapatkan perhatian, mulai dari penyuluhan terkait pengetahuan meningkatkan kualias dan kuantitas, penyediaan bibit, pupuk dan obat yang bisa diakses oleh rakyat, penjagaan harga produk hutan dan hasil pertanian rakyat, hingga infrastruktur pengolahan dan pemasaran.

Sektor ini merupakan sektor di mana mayoritas rakyat Indonesia berada di dalamnya, apabila diperhatikan, dilindungi dan dikembangkan akan sangat berdampak pada meningkatnya penghidupan rakyat dan kemandirian ekonomi masyarakat.

“Hal ini juga akan mengurangi bencana yang diakibatkan oleh hadirnya perusahaan perkebunan skala besar,” ucap ia.

Pusat-pusat kegiatan ekonomi masyarakat ditutup dengan alasan untuk mencegah penularan Covid-19.

Namun jika hal ini, tidak diikuti dengan kebijakan perlindungan yang sistematis dan komprehensif, terutama bagi rakyat yang bergantung pada pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan harian.

“Tentu saja, muncul begitu banyak inisiatif baik dari berbagai kalangan untuk membantu mereka yang lemah secara ekonomi dengan membagikan berbagai bentuk bantuan. Lagi, kita melihat solidaritas rakyat yang sangat luar biasa, sesama rakyat yang bisa merasakan kesulitan yang dihadapi oleh rakyat lainnya dan melakukan pekerjaan nyata,” sambung ia.

Lalu, berbagai fasilitas pelayanan publik pun turut terkena imbas dengan alasan menekan penularan Covid-19.

Pembatasan akses terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan merupakan kebijakan Pemerintah yang sangat berdampak besar terhadap perempuan dan anak.

“Kita mendengar kabar tentang anak yang frustasi karena tidak bisa belajar online, atau para ibu yang kesulitan dalam membantu anaknya belajar. Di rumah, perempuan melakukan perawatan terhadap mereka yang sakit dan harus bersabar karena akses kepada fasilitas kesehatan dibatasi,” sambung ia.

Berhadapan dengan situasi sulitnya mendapatkan pemasukan pada masa pandemi, banyak yang kemudian tidak mampu membayar iuran BPJS Kesehatan.

Hal ini semakin diperburuk dengan terus naiknya iuran BPJS Kesehatan dan dendanya. Upaya-upaya untuk pindah dari BPJS Kesehatan yang berbayar ke PBI juga tidak mudah bagi sebagian besar perempuan yang menjadi kepala keluarga.

“Pemerintah seolah tidak memperhatikan hal ini dan membiarkan rakyatnya berada dalam kesulitan tanpa solusi” ucapnya.

Anjuran untuk tetap di rumah ternyata seiring dengan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Penggunaan internet dan telepon genggam untuk belajar daring dan kegiatan lainnya namun tidak diikuti dengan skema perlindungan penggunaan internet aman yang komprehensif ternyata membawa permasalahan baru bagi meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual.

ilustrasi kekerasan terhadap perempuan [shutterstock]

Angka ini tergolong tinggi.

Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak bukanlah hal baru. Hal ini terjadi lama namun mengalami peningkatan di masa pandemi.

Menurut Aliansi Perempuan Merangin, terdapat 41 kasus perkawinan anak di bawah umur (18 tahun) yang terjadi sejak tiga tahun terakhir. Perkawinan anak pada anak perempuan yang di pedesaan diperkirakan akan semakin meningkat karena pembatasan layanan kesehatan reproduksi dan kebijakan pembatasan sistem belajar.

Sementara itu, bagi korban Kekerasan dalam rumah tangga, anjuran untuk tetap di rumah dan pembatasan layanan pengaduan Pemerintah merupakan mimpi buruk yang tidak tahu kapan berakhirnya,

“Menjebak mereka di rumah bersama pelaku kekerasan seksual, terisolasi dari orang-orang dan sumber daya yang dapat membantu mereka karena pembatasan layanan pengaduan Pemerintah,” sambung ia.

Akses terhadap keadilan bagi korban kekerasan pun semakin jauh dari harapan.

Beranda Perempuan sejak tahun 2015 mendampingi 9 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban 25 orang, tiga di  antara kasus tersebut tidak mendapatkan keadilan, karena aparat penegak hukum tidak memiliki perspektif perlindungan anak dan perempuan.

Akses keadilan bagi korban juga dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh Indonesia saat ini.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) mendefinisikan kekerasan seksual terhadap perempuan sebatas pada penetrasi alat kelamin.

Selain itu, KUHAP juga tidak memberikan pengaturan mengenai hak pemulihan korban selama proses hukum.

Kekerasan seksual bahkan terjadi di dalam kampus.

Berdasarkan hasil survey dan wawancara mendalam dengan pelaku dan korban kekerasan seksual di 4 (empat) kampus di Jambi ditemukan bahwa sekitar 73,21 persen pelaku melakukan tindakan pelecehan seksual melalui gambar dan pesan bernada seksual terhadap mahasiswi.

Kekerasan paling besar dilakukan oleh teman laki-laki, disusul oleh pacar dan oknum dosen sekitar 3,6 persen.

Sedangkan 4 persen mahasiswi pernah mendapatkan pemaksaaan dan intimidasi seksual dari oknum dosen.

“Tentu jumlah ini jauh lebih sedikit jika dibandingkan fakta sebenarnya karena masih banyak korban yang belum berani bersuara dan melaporkan kasusnya karena kampus belum menjamin kemerdekaan dan keamanan bagi korban untuk berani bersuara dan melaporkan kasusnya,” terang ia.

Melalui penyebaran kuisioner diketahui bahwa sebanyak 71,2 persen responden mengaku bahwa kampus belum menyediakan pembelajaran yang aman bagi perempuan, seperti belum adanya toilet yang aman, penerangan yang cukup atau belum didukung SOP tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

“Perempuan jurnalis pun kerap menjadi sasaran kekerasan seksual ketika sedang bekerja. Perusahaan media tidak memiliki SOP yang menjamin perempuan jurnalis aman dari tindakan kekerasan seksual, melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya dan memastikan perusahaan media dan lembaga terkait lainnya melakukan proses terhadap laporan tersebut” tegas ia.

 Di tengah itu semua, terdapat kelompok perempuan disabilitas yang juga harus mengalami persoalan yang berlipat dimasa pandemi.

Ilustrasi disabilitas / difabel (pixabay.com)

Perempuan disabilitas semakin rentan bahkan berpotensi mengalami kekerasan berkali lipat lebih besar.

Di sisi lain, stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV/ODHA, pekerja seks, dan disabilitas terus dirasakan.

Kehilangan akses pada pekerjaan, mendapatkan kesulitan ketika mengakses layanan publik, dan menjadi sasaran empuk oknum pengada layanan publik Pemerintah bertujuan untuk mengambil keuntungan dari upaya komunitas ini untuk mengakses layanan publik.

Bagi perempuan migran, pandemik merupakan penderitaan yang bertambah berkali lipat.

Tercatat sebanyak 32.192 buruh migran kehilangan pekerjaan dan dipulangkan ke tanah air.

Sementara bagi buruh migran yang masih bekerja, terutama buruh migran perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga mereka mengalami situasi tidak digaji, kerja dua kali lipat tanpa istirahat karena harus membersihkan rumah berkali-kali dan memasak lebih sering karena majikan selalu di rumah.

Ditambah lagi, tidak mendapatkan hak libur dengan alasan lockdown dan mencegah penularan.

“Migran juga mendapatkan diskriminasi dan stigma bahkan dikambinghitamkan sebagai pembawa dan penyebar virus,”pungkasnya.

Dengan rentetan kondisi yang dihadapi perempuan saat situasi pandemic ini, Peringatan Hari Perempuan Internasional tahun 2021 ini, Jaringan OBR Indonesia Solidarity menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah yakni,

1.     Segera Bahas dan Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS)

2.     Berikan layanan kesehatan gratis bagi perempuan dan rakyat yang tidak mampu

3.     Tolak Omnibus law dan PP Cipta Kerja dan berikan upah layak, jaminan pekerjaan dan perlindungan untuk buruh perempuan.

4.     Bangun sistem perlindungan dan layanan bagi korban kekerasan seksual di kampus, tegakkan sanksi tegas bagi akademisi/dosen pelaku kekerasan seksual di kampus

5.     Tarik Militer yang menjadi actor utama kekerasan terhadap perempuan Papua

6.     Buka ruang demokrasi yang seluas-luasnya bagi perempuan Papua

7.     Tolak otonomi khusus Jilid II yang adalah paket perpanjangan kekerasan terhadap perempuan Papua

8.     Berikan layanan inklusif pada kelompok disabiltas

9.     Hentikan penahananan dokumen, stop overcharging, berlakukan kontrak mandiri bagi PRT migran

10.  Bangun infrastruktur ekonomi untuk sector hasil hutan dan pertanian pangan rakyat

11.  Berlakukan skema perlindungan internet aman bagi anak

12.  Mewajibkan perusahaan pers membuat SOP pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap jurnalis

13.  Berikan perlindungan kerja bagi buruh kebun, naikkan upah buruh kebun

14.  Turunkan iuran BPJS kesehatan, hilangkan denda bagi rakyat yang tidak mampu dan permudah proses perpindahan kepesertaan BPJS Kesehatan dari umum ke PBI

15.  Stop Stigma dan diskriminasi terhadap komunitas ODHIV/ODHA, pekerja seks, disabilitas, tindak tegas para pelaku kekerasan

16.  Libatkan perempuan dalam perumusan dan pembuatan kebijakan, berikan perhatian lebih kepada komunitas perempuan rentan agar bisa terlibat secara berkualitas

Load More