SuaraSumsel.id - Sebuah kabar memilukan kembali mengguncang dunia pendidikan agama di Indonesia.
Seorang pimpinan pondok pesantren tahfiz Al-Qur’an di Dusun Pangkalan Batu, Kecamatan Payung, Kabupaten Bangka Selatan, berinisial MG (40), ditangkap polisi atas dugaan pencabulan terhadap belasan santri di bawah umur.
Berikut 5 fakta mengejutkan kasus pencabulan pimpinan ponpes di Bangka Selatan:
1. Peristiwa ini terbongkar setelah seorang santri memberanikan diri melapor kepada pengurus pondok pada 22 Mei 2025.
Baca Juga:Lebih dari 100 Peternak Sapi Sukses Berkat Bank Sumsel Babel, Menuju Swasembada Daging
Laporan itu segera ditindaklanjuti oleh Polsek Payung, yang langsung bergerak cepat dan mengamankan MG di kediamannya di Desa Irat.
Penangkapan berlangsung tanpa perlawanan, namun kasus ini menyisakan trauma mendalam bagi para korban dan masyarakat.
Kapolres Bangka Selatan, AKBP Agus Arif Wijayanto, mengungkapkan bahwa kejahatan tersebut diduga sudah berlangsung sejak Februari 2024.
2. Tersangka memanfaatkan posisinya sebagai pemimpin spiritual dan guru untuk mendekati para korban secara perlahan.
MG memberikan berbagai janji dan pemberian seperti uang tunai, pakaian baru, perlengkapan sekolah, hingga menjanjikan pembelian ponsel kepada anak-anak yang menjadi targetnya.
Baca Juga:Pemuka Agama 74 Tahun Ditangkap: Sembunyikan Korban Pencabulan di Kamar Mandi
“Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah orang tua yang menitipkan anak-anak mereka untuk dididik agama dan akhlak. Korban kemungkinan lebih dari yang sudah terdata saat ini,” tegas AKBP Agus.
3. Kecanduan film porno
Kasat Reskrim Polres Bangka Selatan, AKP Raja Taufik Ikrar Buntani, menambahkan bahwa motif awal kejahatan ini diduga dipicu oleh kecanduan tersangka terhadap film porno.
“Kami mendalami isi ponsel dan barang bukti digital milik MG. Hasil awal menunjukkan jejak konsumsi konten pornografi yang masif,” ujarnya.
Polisi hingga kini masih terus memeriksa saksi-saksi dan membuka ruang laporan tambahan bagi santri lain yang mungkin pernah menjadi korban namun belum berani bicara.
Pemeriksaan psikologis terhadap para korban juga sedang dilakukan dengan melibatkan tim pendamping dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A).
4. MG ditahan
MG kini mendekam di sel tahanan Polres Bangka Selatan dan dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman maksimal mencapai 20 tahun penjara.
Kasus ini kembali menyorot lemahnya pengawasan terhadap lembaga pendidikan berbasis agama, terutama yang bersifat tertutup dan berbasis asrama.
Banyak pondok pesantren di Indonesia beroperasi dengan otonomi tinggi, tanpa pengawasan ketat dari pemerintah maupun lembaga independen yang fokus pada perlindungan anak.
Hal ini menjadikan lingkungan tersebut rawan terhadap berbagai bentuk penyimpangan, termasuk kekerasan seksual.
Apalagi, relasi kuasa antara guru dan santri sangat timpang, sehingga korban kerap merasa takut, malu, atau tidak berdaya untuk melapor.
Dalam kondisi seperti ini, predator seksual bisa bersembunyi di balik jubah agama dan memanipulasi kepercayaan yang diberikan oleh santri, orang tua, dan masyarakat sekitar.
5. Masyarakat pun mendesak agar pemerintah dan lembaga keagamaan lebih ketat melakukan verifikasi terhadap para pendidik dan pengelola pondok pesantren.

Harus ada sistem pengawasan yang tidak hanya bersifat administratif dan formalitas belaka, tetapi benar-benar menyentuh aspek perlindungan anak secara menyeluruh.
Misalnya, dengan menerapkan uji kompetensi psikologis bagi calon pengajar, membentuk tim pengawas eksternal yang rutin melakukan inspeksi mendadak, serta menyediakan saluran pengaduan yang aman dan rahasia bagi para santri.
Pendekatan ini harus dilakukan secara sistemik dan berkelanjutan, bukan hanya reaktif saat kasus sudah mencuat ke permukaan.
Tragedi ini menjadi alarm keras bagi semua pihak: bahwa lingkungan pendidikan, seberapapun religius dan sakralnya, tetap memerlukan transparansi, akuntabilitas, serta kontrol sosial yang kuat.
Tidak cukup hanya mengandalkan label agama sebagai jaminan moralitas.
Justru karena membawa misi luhur, institusi keagamaan seharusnya menjadi pelopor dalam menjaga martabat dan keselamatan anak-anak yang mereka didik.
Jika pengawasan terus diabaikan, maka kita sedang mempertaruhkan masa depan generasi muda di tangan mereka yang menyalahgunakan kekuasaan atas nama Tuhan.