SuaraSumsel.id - Sejarawan menbeberkan sejumlah fakta mengenai Presiden Indonesia, Soekarno saat dalam kondisi sakit. Meski belakangan sempat muncul pernyataan cucu yang menyebut jika Soekarno meninggal karena dibunuh.
Melansir dari Solopos.com - jaringan Suara.com, sejarawan Asvi Marwan Adam membeberkan sejumlah fakta mengenai kesehatan Seokarno hingga wafat di tahun 1970.
Asvi berusaha merespon pernyatan sang cucu Soekarno, Didi Maradika. Penjelasan Asvi Warman Adam tertulis dalam buku berjudul “Beda Perawatan Soeharto dengan Sukarno”.
Dalam buku “Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto” suntingan F.X. Baskara Tulus Wardaya diceritakan bahwa sejak awal 1968 Bung Karno berada dalam karantina politik dan tinggal paviliun Istana Bogor.
Baca Juga:Pembalap Sumsel Protes ke PB PON, Merasa Dicurangi Panitia PON
Lalu Bung Karno dipindahkan ke peristirahatan Hing Puri Bima Sakti di Batutulis, Bogor.
Putri Bung Karno, Rachmawati, menemui Soeharto di Cendana untuk meminta Soekarno agar dipindahkan ke Jakarta. Awal 1969, Soekarno pindah ke Wisma Yasoo gedung sekarang Museum Satriamandala.
Tidak Dapat Penanganan Dokter Spesialis
“Sukarno mendapat perawatan seperti pasien di rumah sakit, dalam arti diukur suhu badan dan tekanan darah beberapa kali dalam sehari, serta jumlah air kencing selama 24 jam,” tulis Asvi, Jumat (1/1/2021).
“Pernah ada pemeriksaan rontgen. Tidak diberikan diet khusus seperti yang dilakukan terhadap pasien gangguan ginjal. Selain itu, Bung Karno hanya dilayani oleh seorang dokter umum (dr Sularjo). Bung Karno tidak pernah mendapat penanganan khusus dari dokter spesialis,” lanjutnya.
Baca Juga:Kematian Anak Sumsel Terpapar COVID-19 Tinggi, Ketua IDAI: Orang Tua Abai Prokes
Kondisi Bung Karno kritis, Prof Mahar Mardjono, guru besar Universitas Indonesia, sempat menceritakan kepada dr. Kartono Mohammad jika obat yang diresepkannya disimpan saja di laci oleh dokter yang berpangkat tinggi.
Menurut catatan perawat, obat yang diberikan kepada Sukarno adalah vitamin B12, vitamin B kompleks, Duvadilan, dan Royal Jelly (yang sebenarnya madu).
“Kalau sakit kepala diberi Novalgin, sesekali, kalau sulit tidur, Sukarno diberi tablet Valium,” lanjutnya.
Selain itu, Asvi menjelaskan tekanan darah Bung Karno saat itu relatif tinggi, yakni 170/100.
Tetapi ia tidak diberi obat untuk menurunkan tekanan darahnya itu. Juga tidak tercatat obat melancarkan kencing ketika Bung Karno mengalami pembengkakan.
“Ketika kesehatan Sukarno semakin kritis, pipinya kelihatan bengkak, gejala pasien gagal ginjal, Guruh dan Rachmawati sempat memotret ayahnya. Foto itu sempat beredar kepada pers asing. Guruh dan Rachmawati kontan diinterogasi di markas CPM Guntur, Jakarta,” tutur Asvi.
Bung Karno harus menanggung beban sakitnya itu sampai ia mengembuskan napas terakhirnya pada 21 Juni 1970.