Tasmalinda
Kamis, 27 November 2025 | 11:54 WIB
cerita legenda si pahit lidah di Sumatera Selatan
Baca 10 detik
  • Si Pahit Lidah, bernama Serunting Sakti dari Sumatera Selatan, dikenal karena kesaktian ucapannya yang dapat mengubah perkataan menjadi kenyataan.
  • Dalam beberapa versi, ia bertindak sebagai pahlawan pembela keadilan yang mengutuk pelaku kejahatan menjadi wujud batu.
  • Legenda ini menyoroti ambiguitas antara kepahlawanan dan penggunaan kekuatan berlebihan yang kurang terkontrol oleh emosi.

SuaraSumsel.id - Legenda Si Pahit Lidah telah lama menjadi bagian penting dari cerita rakyat Sumatera Selatan. Sosok bernama Serunting Sakti ini digambarkan memiliki kesaktian luar biasa: setiap kata yang diucapkannya dapat berubah menjadi kenyataan. Karena kekuatan lidahnya yang begitu dahsyat, masyarakat memberi julukan “Si Pahit Lidah”.

Namun kisah tentang Si Pahit Lidah tidak pernah tunggal. Dalam sebagian versi, ia dikenal sebagai pahlawan sakti yang berjuang melindungi rakyat kecil dari penindasan dan kejahatan.

Kesaktiannya dianggap sebagai alat untuk menegakkan keadilan. Ia mengutuk orang-orang licik, pengkhianat, dan pelaku kejahatan hingga berubah menjadi batu. Banyak warga percaya bahwa batu-batu besar yang tersebar di beberapa wilayah Sumatera Selatan merupakan sisa kutukannya. Batu Gajah, Batu Lesung, Batu Timbangan, dan berbagai lanskap batu lainnya sampai hari ini masih disebut sebagai jejak tindakan Si Pahit Lidah menghukum mereka yang bertindak semena-mena.

Di sisi lain, legenda ini juga menyimpan gambaran kelam. Dalam beberapa cerita rakyat, Si Pahit Lidah disebut sebagai sosok yang mudah tersinggung dan emosional. Hanya karena kesal atau dipancing provokasi, kata-katanya bisa menjatuhkan kutukan besar. Hal ini memunculkan pertanyaan hingga kini: apakah ia pahlawan yang menegakkan kebenaran, atau seorang sakti yang kehilangan kendali atas kekuatannya sendiri?

Kisah Si Pahit Lidah semakin menarik karena dikaitkan dengan tokoh lain bernama Si Mata Empat, yang digambarkan sebagai saudaranya sekaligus lawan terberat. Pertarungan antara keduanya menjadi bagian dramatis dari perjalanan legenda Sumsel.

Si Pahit Lidah bertarung dengan kekuatan ucapan yang mengutuk, sementara Si Mata Empat menggunakan kepekaan batin untuk melihat hal-hal yang tidak terlihat manusia biasa. Banyak lokasi di Sumsel dipercaya menjadi bekas medan pertempuran keduanya, sehingga legenda ini melekat kuat pada lanskap wilayah dan sejarah lisan masyarakat.

Keberadaan legenda ini tidak hanya berfungsi sebagai cerita hiburan, tetapi juga sebagai pengingat nilai moral yang disampaikan masyarakat masa lalu. Kisah ini menekankan bahwa kekuatan besar harus digunakan secara bijak. Ucapan dapat menjadi penyelamat, tetapi juga dapat menjadi bencana bila tidak dikendalikan dengan baik. Kesaktian yang tidak diimbangi pengelolaan emosi dapat merusak kehidupan diri sendiri maupun lingkungan.

Hingga hari ini, legenda Si Pahit Lidah masih hidup dan terus diceritakan. Banyak sekolah, sanggar budaya, komunitas wisata, hingga pemandu daerah menjadikan kisah ini sebagai bagian dari edukasi dan pelestarian budaya. Lokasi-lokasi yang dipercaya berkaitan dengan kisahnya terus menarik perhatian wisatawan lokal maupun luar daerah, khususnya mereka yang tertarik dengan cerita rakyat dan sejarah tradisional Sumsel.

Pertanyaan besarnya tetap menggantung hingga kini: Si Pahit Lidah, apakah ia pahlawan sakti yang menjaga kebenaran atau penyebar kutukan yang tidak mampu mengendalikan kekuatannya?

Baca Juga: 5 Dampak Positif Kantor Baru Bank Sumsel Babel Muara Rupit untuk Pelaku Usaha dan Warga

Jawabannya tergantung dari sudut pandang mana masyarakat melihatnya. Legenda ini bertahan selama ratusan tahun justru karena ia menyimpan ambiguitas, misteri, dan pesan moral yang tidak lekang oleh waktu.

Load More