Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Senin, 26 September 2022 | 09:28 WIB
Ilustrasi begal payudara gsasar mahasiswi di Palembang. (Foto: Suarajatimpost.com)

SuaraSumsel.id - Akademisi Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri), Isma Achmad menyoroti kasus ‘begal’ payudara yang beberapa waktu lalu terjadi di sekitar kampus yang berada di Kemuning, Kota Palembang, Sumatera Selatan.

Isma menegaskan bahwa saat ini perempuan harus mempunyai kesadaran yang tinggi atas keselamatan dirinya sendiri, sebab Indonesia termasuk dalam negara yang tidak ramah akan perempuan.

“Perempuan harus sadar bahwa dirinya bisa saja menjadi target tindakan kriminal seperti kasus ‘begal’ payudara ini, sehingga kalau terjadi sesuatu yang tidak nyaman maka jangan takut untuk melapor karena saat ini sudah ada payung hukum untuk perempuan dalam menangani kasus ini yaitu UU TPKS,” kata Isma saat diwawancara via telepon akhir pekan lalu.

Isma menyebutkan stigma melapor ke polisi saat perempuan menjadi korban kekerasan seksual adalah hal yang tabu, merasa dirinya kotor dan hina sehingga memilih untuk diam dan tidak melaporkan kejadian tersebut.

Baca Juga: Sumsel Sepekan: Semburan Air Lumpur Bergas di Ogan Ilir, Polisi Pemilik Gudang BBM Terbakar Ditahan Polda

“Stigma itu salah, tahun 2022 cara berpikirnya tidak begitu lagi. Kalau terjadi kepada kita maka harus segera melapor, saat sedang menghadapi situasi itu jangan ragu untuk teriak karena itu memungkin orang sekitar untuk membantu juga menangkap si pelaku,” sebut dia.

Dalam menghadapi situasi tersebut, dikatakan Isma memang sangat sulit untuk membuat kesadaran diri tetap terjaga, karena kejadian yang cepat yaitu hanya sepersekian detik dan dengan kondisi korban yang tidak waspada dan tidak siap.

“Pada saat kejadian, mental korban ini down karena ketidaksiapannya tadi. Jadi jangankan untuk mencatat plat kendaraannya, ingat mukanya saja tidak. Psikologinya kaget dan meluapkan rasa kekecewaannya itu dengan menangis, kalau menangis maka pelaku ini makin senang,” katanya. 

Kejadian ini, menurut Isma bisa terjadi bagi siapa saja tidak hanya mahasiswi tapi juga bisa dari lintas profesi namun dengan catatan ada peluang dari korban dan ada kesempatan dari sang pelaku untuk melancarkan aksinya.

“Kenapa ini masih sering terjadi, harus kita lihat bahwa faktornya bisa saja karena jalan yang sepi kemudian minim penerangan serta CCTV yang tidak ada atau tidak berfungsi. Nah ini yang menjadi alasan kenapa pelaku berani melakukan hal tersebut. Karena merasa bahwa aksinya tidak akan diketahui orang sehingga tidak merasa ada hukuman yang akan ia terima jika melakukan tindakan kekerasan seksual tersebut,” tuturnya.

Baca Juga: Sumsel Bersiap Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20: Tidak Hanya Stadion Namun Semua

Oleh sebab itu, dalam menangani kasus kekerasan seksual yang kembali terjadi saat ini perlu adanya keseriusan dari pemerintah khususnya aparat penegak hukum.

“Saya rasa semua lapisan masyarakat harus ikut bersinergi dalam melakukan upaya perlindungan terhadap perempuan. Misalnya pemerintah seperti Dinas Perhubungan melakukan pengecekan jalan mana yang terkenal rawan, sepi dan minim penerangan maka coba untuk dilakukan penambahan lampu jalan atau CCTV,” ujar Isma.

Selain itu, aparat penegak hukum dalam menindak laporan yang masuk dikatakan Isma harus cepat tanggap mencari pelaku agar ada efek jera bagi pelaku dengan harapan akan terjadi efek domino ke yang lain agar tidak melakukan hal tindakan kriminal yang sama.

“Untuk perempuan juga harus melakukan langkah pencegahan seperti selalu membawa bubuk cabai dalam tas atau penggaris besi dan itu bukan termasuk senjata tajam. Jadi kalau ada gerak gerik mencurigakan, kita sebagai perempuan sudah siap dengan dua barang itu tadi,” tutupnya.

Kontributor: Siti Umnah.

Load More