Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Jum'at, 30 Juli 2021 | 17:30 WIB
ilustrasi warga Tionghoa .[Solopos/Nicolous Irawan] Donasi Rp 2 T Akidi Tio, Hikmah Tradisi Tionghoa Hormati Orang Tua dan Leluhur

SuaraSumsel.id - Donasi Rp 2 triliun almarhum Akidi Tio menyisahkan pesan moral bagi generasi saat ini, agar bisa menghormati orang tua dan leluhur.

Belakangan diketahui jika donasi tersebut ialah uang tabungan Akidi Tio yang telah dikumpulkan selama hidupnya.Semasa hidup, Akidi Tio dikenal dermawan. Meski diketahui telah meninggal dunia 2009 lalu, Akidi Tio meninggalkan pesan pada anak dan cucunya agar selalu dermawan.

Budayawan Tionghoa Tjik Harun mengungkap pada dasarnya setiap agama, etnis dan suku memiliki tradisi jika anak harus menunjukkan bakti kepada orang tua, bahkan saat  orangnya sudah meninggal dunia.

Hanya saja bentuk implementasinya saja yang tak serupa.

Baca Juga: Butuh Oksigen Medis, Warga Sumsel Bisa Gratis di Posko Ini

"Masyarakat etnis Tionghoa percaya bahwa bentuk kebaktian tidak hanya dilakukan saat orang tua masih hidup. Ketika orang tua telah tiada juga masih mendaptkan tempat di hati dan akan selalu dikenang oleh anak, cucu dan orang-orang yang ditinggalkan," ujarnya kepada Suara.com, Jumat (30/7/2021).

Warga Tionghoa yang masih kuat tradisi mengungkapkan nasehat mendiang orang tua untuk anak dan keturunan ialah hal yang perlu dikenang sebagai wujud bakti

Wujud bakti, di antaranya dibuatkan altar sebagai tempat sembah di rumah serta memasang foto orang tua terebut. 

"Begitulah cara etnis tionghoa untuk tetap mengingat dan menghormati leluhurnya. Meskipun orangnya sudah tidak ada, tetapi memori mengenai orang tua semasa hidup tetap melekat," sambung ia.

Makanya, altar di rumah bertujuan agar tetep mengingat nasihat orang tua.

Baca Juga: Alokasi Bansos Sumsel Terindikasi Dikorupsi, Kerugian Negara Rp 1,6 Miliar

"Pagi hari, kita sembahyangi ,”jelas lelaki yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Rohaniwan Tridharma (Martrisia) Sumsel.

Selain itu, warga Tionghoa juga membubuhkan bingkai foto di depan altar adalah cara keturunan etnis ini untuk tetap mengingat dan mengenalkan leluhur pada generasi berikutnya.

Foto Akidi Tio

“Contoh saja jika tidak ada foto bagaimana generasi berikutnya akan tau mengenai wajah leluhurnya. Untuk mengingat pahlawan saja meskipun tidak pernah ketemu tapi tau wajahnya hal tersebut juga wujud bakti  penghormatan,” ujar ia.
 
Selain itu bentuk penghormatan lainnya dengan terus memperingati hari kematian atau dikenal dengan istilah Coki di setiap tahun.

Caranya dilakukan persembayangan di rumah, serta disediakan makanan yang disuka dan kirim-kirim uang kepadanya.

“Kita anggap dia tetap ada di dalam hati kita, terlepas mendiang makan atau tidak setidaknya 10 menit untuk sembayangkan sudah turun temurun, kita jalankan meskipun sudah beberapa generasi,” sambung ia.
 
Tradisi bakar kertas sembayang dan uang arwah mengandung makna jika almarhum juga punya kebutuhan sehingga dikirimkan uang.

Mereka menyakini leluhur yang telah tiada sebenarnya masih berada tapi di frekuensi yang berbeda dan tidak bisa dilihat kasat mata.
 
Tradisi berikutnya, mendoakan orang tua dikenal dengan nama ceng beng, yaitu ziarah kubur atau jika di krematorium maka ziarah dilakukan ke vihara ke tempat peletakan abu bakarannya.

Akidi Tio [instagram]


 
Masyarakat tionghoa juga mengenal istilah limpahan jasa yang dimaksudkan beramal dengan mengatasnamakan leluhurnya.

“Limpahan jasa bagi yang sudah meninggal agar jasa diterima sama yang sudah meninggal agar ia dilapangkan. Beramal dengan mengatas namakan orang sudah meninggal,” tambahnya.
 
Tak berbeda dengan kepercayaan umum. Bentuk berbakti kepada orang tua tak hanya ada pada etnis tionghoa juga didasarkan pada budi pekerti manusia.

Tjik Harun mengakui hingga kini masyarakat Tionghoa masih teguh memegang keyakinan tersebut.
 
"Sekaligus etnis Tionghoa meyakini adanya karma yang terjadi jika anak-anak tidak memberikan bentuk baktinya kepada orang tua dan leluhur," pungkas ia.

Kontributor: Fitria

Load More