Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Minggu, 13 Maret 2022 | 10:08 WIB
Ilustrasi minyak goreng. DMO minyak goreng Pemerintah, Pabrik Oleokimia PT Sumi Asih stop operasi. [Istimewa]

SuaraSumsel.id - Perusahaan yang bergerak di bidang oleokimia PT Sumi Asih stop produksi. Hal Ini, karena tidak mampu memenuhi kewajiban memasok minyak goreng sebanyak 20 persen dari produk yang akan diekspor.

Kewajiban memasok 20 persen ini ialah kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) minyak goreng yang dibuat Pemerintah.

Direktur HRD and Legal PT Sumi Asih Markus Susanto mengatakan karena tidak bisa beroperasi, pabrik yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat, tersebut telah merumahkan 350 karyawannya.

Markus Susanto memaparkan pabriknya tidak menggunakan CPO sebagai bahan baku produksi, tetapi menggunakan RBD stearin yakni produk samping pabrik minyak goreng guna kemudian diolah menjadi stearic acid dan glycerine.

Baca Juga: Sumsel Diprakirakan Diguyur Hujan Ringan Hari Ini, 13 Maret 2022

"Aturan tersebut tentu menyulitkan produsen oleokimia yang tidak memproduksi minyak goreng," katanya.

Melansir ANTARA, Permendag No. 8 Tahun 2022 mewajibkan produsen oleokimia yang akan mengekspor produknya menjalankan DMO minyak goreng. Untuk memenuhi kewajiban DMO itu, pihaknya harus membeli CPO atau olein dengan harga pasar yang saat ini Rp20.500 per kilogram kemudian menjual minyak goreng dengan harga yang ditentukan pemerintah Rp10.300 per kg.

"Jika dihitung dengan melaksanakan DMO sebesar 20 persen, perusahaan tiap bulan akan menanggung defisit sekitar Rp6,3 miliar," katanya.

Dia merinci angka itu berasal dari 30.000 ton produk stearic acid dan glycerine yang setiap bulan diekspor dikalikan 20 persen berarti 600 ton yang kemudian dikalikan selisih yang harus dibayar bahan baku dengan minyak goreng Rp9.700 per kilogram sama dengan Rp6,3 miliar.

Jika sekarang DMO menjadi 30 persen berarti defisit perusahaan hampir Rp10 miliar dalam sebulan.

Baca Juga: Oknum Polisi Bakar Mantan Kekasih, Polda Sumsel Sebut Didasari Motif Cemburu

Peraturan DMO itu tidak berdampak serius bagi industri oleokimia yang terintegrasi yakni dalam satu grup usaha juga memiliki kebun sawit, punya pabrik kelapa sawit (PKS) yang memproduksi tandan buah segar (TBS) menjadi CPO, punya pabrik pengolahan minyak goreng, pabrik oleokimia sampai pabrik fatty alcohol, dan pabrik biodiesel.

“Bagi mereka ini akan sangat mudah melaksanakan aturan DMO itu, karena dia produksi minyak goreng. Walaupun dia rugi jual minyak goreng untuk DMO, tapi dia kan bisa menggenjot produk lain untuk diekspor,” katanya.

Markus mengungkapkan, saat ini perusahaannya tidak dapat melakukan ekspor karena sudah tiga pekan tidak berproduksi.

Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menolak DMO 30 persen dari sebelumnya 20 persen. "Tidak perlu DMO 30 persen, cukup 20 persen dan bahkan saya sarankan supaya lebih lancar lagi, tidak perlu ada DMO,” ujar Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga dalam konferensi pers, Jumat (11/3).

Kebijakan tersebut justru akan mempersulit eksportir, bahkan bisa mengakibatkan ekspor jadi macet.

"Apabila ekspor terhalang,  perkebunan sawit akan rugi karena 64 persen market kita ada di pasar luar negeri,” ujar Sahat.

Load More