SuaraSumsel.id - Terik matahari yang menyengat siang ini makin mempekeruh suasana hati Agus Salim, Minggu (30/8) lalu. Raut mukannya nampak lesu karena salon yang diusahakannya sepi pengunjung di akhir pekan.
Sampai matahari pun hendak tenggelam, hanya tiga orang pelanggan yang datang ke salon. Itu pun hanya untuk menggunting rambut yang dikenakan tarif sekitar Rp15.000-Rp25.000.
Transpuan di kota Palembang ini mengeluhkan kondisi pandemi memperparah penghasilan salonnya. Meski mulai ada masyarakat yang sudah menggelar hajatan pernikahan namun pendapatan yang diperolehnya masih jauh menurun dibandingkan sebelum virus mewabah.
“Ini kondisi terparah yang saya alami. Bisnis salon sebelum pandemi mulai menurun, namun sejak pandemi menjadi sangat sepi. Pelanggannya hanya hitungan jari,” ujar Agus, belum lama ini.
Baca Juga: Dipukul Pandemi Corona, Kuta Bali Bak Kota Mati, Sangat Sepi
Dia menuturkan, penghasilan harian yang diperolehnya pada saat ini ialah penyambung hidup bagi keesok hari. Belum lagi sejumlah keperluan yang harus dipersiapkan untuk dibayarkan rutin perbulannya, seperti sewa bedeng yang digunakan sebagai lokasi usaha salon tersebut.
“Sekarang, bisnis salon makin bersaing, makin kompetitif. Belum lagi perkembangan media sosial juga memperlihatkan makin banyak bisnis salon yang mulai bermunculan,” tuturnya.
Hampir 40 tahun mengeluti bisnis salon, Agus menceritakan banyak pengalaman yang diperolehnya terutama dengan identitas transpuannya.
Warga asli Palembang ini mengatakan kehidupan di bisnis kecantikan seperti jasa salon serta jasa sewa peralatan pernikahan telah dimulainya sejak usia 16 tahun, setelah ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dan memilih fokus menekuni dunia tersebut.
“Ada hubungannya juga dengan identita saya ini, seorang waria, transpuan,” sambung ia.
Baca Juga: Pandemi Covid-19 Belum Mereda, Gubernur Kepri Minta Maaf
Di usia meninggalkan fase anak-anak tersebut, Agus sempat ditolak sang ayah karena mendeklrasikan indentitas transpuannya. Setelah lima tahun meninggalkan keluarga dan fokus menekuni dunia salon guna memenuhi kebutuhan, ia pun kembali ke tengah keluarga dengan keberhasilan yang diperolehnya.
“Bagaimana ya? saya sejak kecil suka main boneka. Suka berhias dan pakai baju perempuan, saya pun awalnya tidak paham dengan diri saya sendiri. Kenapa perasaan saya perempuan tetapi fisik laki-laki. Ayah sempat tidak terima, tapi ibu yang banyak melindungi,” ungkap Agus yang merupakan anak ke lima dari 10 bersaudara ini.
Ekspresi transpuan pun muncul secara sadar maupun tidak sadar. Kata Agus, ia lebih tertarik kepada laki-laki dan lebih aktif mengutarakan rasa ketertarikan tersebut.
Semua kecendrungan itu terasa tidak bisa ditolak, karena sulit dikendalikan. “Misalnya, saat melihat laki-laki yang menurut saya menarik maka saya akan terlebih dahulu menegur dan menyatakan suka. Meski fisik laki-laki, tidak sedikit pun saya cinta kepada lawan dalam urusan emosional. Benar-benar yang seperti ini sulit dikontrol,” akunya.
Akrab dengan dunia salon mengakibatkan Agus yang memilih tidak mengubah bentuk fisiknya tersebut mengenal banyak transpuan lainnya, baik di Palembang maupun di luar Provinsi Sumsel. Termasuk, mengenal transpuan yang memilih menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK).
“Atas identitas seperti ini, saya memilih lebih terbuka saja. Di keluarga sempat ditolak, di pertemanan, di lingkungan usaha ini, saya jujur saya waria, saya transpuan. Saya juga pernah di jalanan, karena lebih kepada aktualisasi diri, pergi ke jalan dan penuh dandan, bertemu teman-teman. Bergembira saja, ingin bebas,” ujarnya.
Kini, usaha salonnya tengah diuji. Selain harus berkompetisi dengan salon-salon yang baru bermunculan lainnnya, ia pun harus menghadapi situasi pandemi.
Penghasilan salon yang kian menurun, mengakibatkan ia sulit untuk membayar sewa bedeng sekaligus membayar kredit perbankan. Selama pandemi pun, ia tidak pernah mendapatkan tawaran bantuan hingga bantuan langsung dari pemerintah.
“Pernah ditawarkan bantuan tapi syaratnya tidak ada pinjaman di bank, sementara saya ada kredit di bank, yang niat awalnya untuk membuka salon di bangunan sendiri. Meski mendapatkan penundaan pembayaran kredit, saya masih khawatir belum mampu membayar kredit di bulan-bulan ke depan dengan penghasilan seperti ini,” ungkapnya.
Kegelisahan yang sama diungkapnya transpuan lainnnya. Heri. Sudah hampir setengah tahun, Heri yang menekuni bisnis jual beli pakaian khas pengantin juga sepi pelanggan.
Transpuan di Palembang yang biasa memperoleh penghasilan hingga puluhan juta atas busana yang dirancang juga mengalami dampak pandemi. Kata Heri, tidak hanya ia yang terdampak secara ekonomi atas pandemi saat ini.
Hampir sebagian besar transpuan lainnya juga mengalami permasalahan yang sama.“Tidak semua dari transpuan sanggup bertahan saat pandemi. Usaha dijalani transpuan juga sangat terdampak,” katanya di pertengahan Agustus lalu.
Seperti bisnis jual beli pakaian pengantin yang digelutinya. Heri yang juga dikenal dengan nama Helena menceritakan jika pendapatan yang diperolehnya kini sangat berkurang jika dibandingkan sebelum pandemi.
“Banyak transpuan berhasil mengembangkan usaha, tetapi menjelang usia tuanya mengalami kesulitan ekonomi,“ sambung ia.
Pandemi virus tidak hanya mempengaruhi transpuan secara ekonomi namun juga psikologisnya. Banyak transpuan yang harus memutar otak guna bertahan selama pandemi dengan mengandalkan keahlian yang dimiliki atau beralih ke jenis usaha lainnya.
“Dengan berbagai kesulitan ini, akhirnya kami tetap bertahan dan saling menguatkan. Melalui media komunikasi yang kami buat seperti group whatsapp dan lainnya, kami berbagi cerita termasuk informasi kerja,”ucap dia.
Di tengah kesulitan yang dihadapi saat pandemi ini, banyak transpuan juga cendrung tidak tersentuh bantuan pemerintah.
Direktur Eksekutif Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sumsel Nindi Tanjung mengatakan kalangan transpuan jarang mendapatkan bantuan karena permasalahan identitas kependudukan. Salah satu penyebabnya ialah para transpuan tersebut berasal dari luar Sumsel sehingga dianggap bukan sebagai penduduk setempat.
“Mereka tidak ber-KTP Sumsel, karena itu tidak banyak terima bantuan,” ujarnya.
Padahal banyak dari transpuan yang terdampak secara ekonomi karena kondisi pandemi saat ini. Transpuan kehilangan lapangan pekerjaan hingga harus berpindah ke daerah lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Ada dari mereka pindah kosan, menutup sementara usaha,” kata Nindi.
Menanggapi hal ini, Plt Kepala Dinas Sosial kota Palembang, Heri Aprian mengungkapkan pemerintah belum menyediakan bantuan khusus bagi masyarakat transgender atau transpuan selama pandemi saat ini hanya selama ini pemerintah menyalurkan bantuan kepada masyarakat yang memenuhi syarat sebagai penerima bantuan.
"Secara khusus untuk transpuan memang belum ada. Jika Pemerintah Daerah (Pemda) memberikan bantuan terdampak covid 19 maka secara umum saja,”ujarnya dihubungi pekan lalu.
Merangkul Lebih Banyak Transpuan
Meski demikian, solidaritas antar transpuan terus dibangun. Melalui organisasi Masyarakat Keluarga Gotong Royong (MKGR) Himpunan Waria di Sumsel, solidaritas antar transpuan makin dieratkan.
Seperti pada pertengahan April lalu, himpunan waria berdonasi bagi transpuan yang membutuhkan. Donasi dikumpulkan berdasarkan region atau asal tempat tinggal dari anggota himpunan waria.
Di mana, pengurus organisasi membagi wilayah pengumpulan donasi menjadi seberang hulu dan hilir kota Palembang.
“Pengumpulan dan pembagian donasi dibagi berdasarkan tempat tinggal. Donasi dibelikan sembako lalu diserahkan kepada transpuan lanjut usia,” ujar Ketua MKGR Himpunan Waria Sumsel, Heri.
Bantuan berupa sembako dinilai lebih tepat diberikan kepada transpuan yang membutuhkan. Pada pengumpulan donasi itu terkumpul 44 paket sembako yang dibagikan rata berdasarkan data peregionnya.
Selain bantuan sembako, pengumpulan donasi juga berlanjut saat zakat fitrah sebelum idul fitri lalu. Sembako yang dikumpulkan berupa beras yang menjadi ibadah zakat para transpuan beragama islam.
“Di keanggotaa kami, ada waria lanjut usia yang dititip ke panti jompo karena tidak punya keluarga. Para transpuan seperti ini yang menjadi prioritas penerima bantuan,” katanya.
Menjabat sebagai Ketua MKGR Himpunan Waria di akhir 2019 lalu, Heri meneguhkan keinginan semakin banyak merangkul transpuan di Sumsel.
Ia menyatakan jika transpuan di Sumsel hampir sama dengan provinsi lainnya. Kehidupan yang dijalani juga sama seperti halnya kehidupan masyarakat pada umumnya, hanya saja terdapat situasi tertentu yang kadang membedakan.
Usai terpilih sebagai ketua di tingkatan provinsi, ia pun berkeinginan agar kepengurusan di tingkat kota dan kabupaten makin tumbuh.
“Kami ingin mengajak lebih banyak transpuan agar mengorganisasikan diri, bersolidaritas dan meningkatkan keterampilan. Dengan latar belakang yang berbeda, para transpuan berkeinginan agar bisa bermanfaat bagi lainnya,” bebernya.
Penolakan karena status transpuan, sambung Heri pernah dialaminya. Sejak lahir dan dibesarkan oleh orang tua berprofesi sebagai tenaga pendidik, Ia selalu diajarkan dekat kepada keluarga.
“Saya tidak memilih pergi, atau meninggalkan keluarga atas pilihan sebagai transpuan. Saya terbuka, menceritakan apa yang terjadi pada diri saya. Apapun yang saya rasakan, saya ungkapkan,” ujarnya
Dengan dekat dan terbuka antara satu dengan lainnya, akan semakin tumbuh rasa kekeluargaan.
Di himpunan waria sendiri, semangat kekeluargaan ditumbuhkan melalui agenda rutin bulanan, seperti arisan. Aktivitas berkumpul tersebut menjadi momentum agar semua anggota saling bercerita, membagikan informasi, memberi kabar antara satu dengan lainnya.
“Dari uang arisan juga disisihkan guna kas organisasi guna kegiatan produktif. Selain arisan, pengurus saling merayakan ulang tahun. Semua moment kegiatan kami bagikan dalam group agar bisa diketahui oleh pengurus lainnya,” ungkap ia.
Heri mengatakan jumlah transgander terutama transpuan di Sumsel cukup besar namun pengorganisasiannya belum maksimal. Hal ini mengakibatkan kelengkapan organisasi cendrung tidak terpenuhi, sehingga berimbas pada penyaluran bantuan dari pemerintah.
“Bantuan yang diterima cendrung bersifat personal bukan secara organisasional. Kelengkapan organisasi yang mengakibatkan bantuan pemerintah juga tidak banyak diperoleh,” ungkapnya.
Berusaha Menepis Diskriminasi
Bagi Mak, transpuan di Palembang yang telah berusia 56 tahun mengenalkan diri sebagai transpuan bukan lagi persoalan baginya. Berprofesi sebagai pemilik salon di daerah Suka Bangun Palembang mengakibatnya memiliki pengalaman mengenal transpuan lainnya.
Menurut ia, diskriminasi yang terjadi karena pengetahuan masyarakat yang kurang mengenal transpuan. Sehingga untuk mengenalkan bagaimana transpuan maka perlu lebih banyak berkarya dan bermanfaat.
Pengurus Masyarakat Keluarga Gotong Royong (MKGR) Sumsel ini menuturkan organisasinya mulai mengenalkan transpuan dengan beragam kegiatan sosial. Berbagai kegiatan sosial yang pernah dilakukannya seperti pelatihan keahlian, kegiatan sosial di lapas anak, serta menggalang donasi bagi korban tanah longsor di Lahat dan korban kebakaran di Palembang.
“Dengan hal-hal bermanfaat, tentu orang juga akan menilai karya dan manfaat keberadaan transpuan tersebut,” katanya.
Ketua MKGR Himpunan Waria Sumsel Heri menambahkan, jika ia pun memahami jika masih ada transpuan berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersil (PSK). Meski tidak langsung melarang, ia mengajak agar para transpuan bisa beralih profesi.
Pada tahun 1990-an, di Sumsel terutama kota Palembang masih banyak ditemui transpuan yang berprofesi sebagai waria jalanan. Lambat laun, jumlah waria jalanan makin berkurang.
“Cuba bandingkan sudah jarang ada waria jalanan. Lihat saja, di beberapa tempat yang dahulu terkenal sebagai kawasan tersebut, sekarang sudah berkurang,” ungkapnya.
Pengorganisasian dengan mengajak para waria lebih berkeahlian menjadi visi para pengurus himpunan waria. Hal ini pula yang terus dikampayekan kepada pemerintah dan masyarakat agar tidak terjebak pada hal-hal diskriminatif kepada kalangan transpuan.
“Pelan-pelan kita dibenahi keahlian anggota. Harus pada jalannya dan terus berkarya,” ujarnya.
Untuk di Sumsel sendiri, menurut pengakuan keduanya sudah cukup terbuka atas kalangan transpuan. Penilaian kehadiran transpuan semakin mengalami pergeseran ke arah yang lebih baik, mulai dari menghargai keberadaan dan mengakui karya-karya transpuannya.
"Keadaannya mulai membaik. Kita terus mengkampanyekan jika transpuan juga bisa berkarya dan bermanfaat" pungkasnya.
Terbentuknya komunitas masyarakat transgander, dinilai Psikolog Agiersda Siregar bukan tidak ada penyebabnya. Kesadaran berkumpul dalam organisasi lebih disebabkan adanya kesamaan kondisi.
“Begitu pula bagi transpuan tersebut. Dengan wadah organisasi, para transpuan akan lebih mudah terbuka, berbaur dan saling menyatu satu sama lainnya,” katanya.
'Berdasarkan pengertian komunitas, Macqueen, 2001, Agi menjelaskan komunitas terbentuk akibat tiga hal yakni ikatan sosial, pandangan yang sama, serta terlibat dengan aksi bersama. Sementara komunitas transpuan bisa terbentuk sebagai pandangan indentitas seksual yang sama.
Dari beberapa penelitian mengenai komunitas, para transgender seperti halnya gay, lesbian dan lainnya akan berusaha bertemu sekaligus memperluas lingkaran persahabatan.
“Selain itu, komunitas juga terbentuk akibat memvalidasi, memberdayakan serta mendukung satu sama lainnya. Sebagai kelompok minoritas, mereka butuh kesamaan dalam bahasa, baik dijadikan media komunikasi, atau lainnya” kataya.
Para transgender ialah bagian dari komunitas individual marginal (community of marginalized individuals) yang memahami mengenai asal muasalnya sehingga tidak diperlukan upaya menjelaskan identitas mereka. “Dengan berkelompok sama, mereka bisa lebih nyaman menjadi diri mereka sendiri dalam menjalani hidupnya," pungkas Agi.
Liputan ini didukung oleh hibah Story Grant dari Serikat Jurnalis Keberagaman (SEJUK) - Internews.
Berita Terkait
-
Tiko Anak Ibu Eny Tolak Pekerjaan Bergaji Besar, Alasannya Bikin Salut: Mental Orang Kaya
-
BRI REI Expo Hadir di Jambi, Banyak Promo KPR hingga Aneka Hiburan
-
Terapkan Bisnis Berkelanjutan Unilever Indonesia Raih "The Best Listed Company Based on ESG Score"
-
Komunitas Womanpreneur Dorong Kerjasama Pelaku Usaha Perempuan Indonesia Dengan Importir Inggris
-
Iklan Kecantikan dan Pelangsing Diduga Pakai Jasa Buzzer, Reaksi Deddy Corbuzier Jadi Sorotan
Terpopuler
- Kejanggalan LHKPN Andika Perkasa: Harta Tembus Rp198 M, Harga Rumah di Amerika Disebut Tak Masuk Akal
- Marc Klok: Jika Timnas Indonesia Kalah yang Disalahkan Pasti...
- Niat Pamer Skill, Pratama Arhan Diejek: Kalau Ada Pelatih Baru, Lu Nggak Dipakai Han
- Datang ke Acara Ultah Anak Atta Halilintar, Gelagat Baim Wong Disorot: Sama Cewek Pelukan, Sama Cowok Salaman
- Menilik Merek dan Harga Baju Kiano saat Pesta Ulang Tahun Azura, Outfit-nya Jadi Perbincangan Netizen
Pilihan
-
Harga Emas Antam Terbang Tinggi Jelang akhir Pekan, Tembus Rp1.520.000/Gram
-
Dinilai Hina Janda, Ridwan Kamil Kena Semprot Susi Pudjiastuti: Mau Omong Apa?
-
5 HP Samsung Rp 1 Jutaan dengan Kamera 50 MP, Murah Meriah Terbaik November 2024!
-
Profil Sutikno, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang Usul Pajak Kantin Sekolah
-
Tax Amnesty Dianggap Kebijakan Blunder, Berpotensi Picu Moral Hazard?
Terkini
-
Raih Best API Initiative, BRI Komitmen untuk Terus Berinovasi bagi Layanan Nasabah
-
Cerita Pilu Novi Tolak Bayar Uang Damai Rp60 Juta, Padahal Dilecehkan Tetangga
-
Robby Minta Prabowo Turun Tangan: Kisah Video Viral Dugaan Pesta Sabu Lapas
-
Walkout di Tengah Debat Pilkada OKU, Paslon 01 Sebut Aturan Debat Dilanggar!
-
Penyelidikan Mendalam Kasus Pesta Sabu di Lapas, Oknum Petugas Jadi Tersangka?